Tantangan Kembali ke Jalan Perdamaian
Bagi seseorang yang pernah bergabung dalam kelompok ekstrem, lalu memutuskan keluar dari jaringan tersebut, banyak aral yang harus dihadapi dan dilalui. Kecaman hingga ancaman teror dari anggota jaringan masa lalunya kerap diterimanya. Ancaman dan kecaman tersebut tak hanya sesaat, melainkan berlangsung terus menerus dari waktu ke waktu. Bahkan, ancaman tersebut menyasar keselamatan dan nyawanya.
Hal itulah yang pernah dialami Kurnia Widodo dan Ali Fauzi, dua mantan pelaku terorisme yang telah kembali ke jalan perdamaian. Setelah bertahun-tahun bergabung dan bergelut dalam dunia ekstremisme, mereka memutuskan untuk meninggalkannya dan bertobat menuju jalan perdamaian.
Kurnia Widodo pernah mengalami ancaman serangan fisik dari kelompok masa lalunya ketika hijrah menuju jalan perdamaian. “Ketika memutuskan keluar dari Negara Islam Indonesia (NII), saya sering diteror dengan terus didatangi anggota kelompok tersebut,” ujarnya dalam suatu kegiatan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Kota Samarinda, awal Mei lalu.
Baca juga Ali Fauzi; dari Lingkar Kekerasan ke Lingkar Perdamaian
Setelah keluar dari NII, Kurnia lalu bergabung dengan jaringan ekstremis Aman Abdurrahman. Ketika memutuskan keluar dari kelompok Aman, ia pun mengalami ancaman teror penusukan dari anggota jemaah tersebut. Hal itu dialaminya saat ia berenang di kolam renang umum. Beruntung ancaman tersebut tak terjadi.
Tak hanya ancaman fisik, vonis murtad pun dilayangkan kelompok ekstrem kepada Kurnia. “Saya dianggap sesat dan murtad oleh mereka,” tuturnya.
Bahkan, menurut Kurnia, banyak temannya yang hijrah ke jalan perdamaian lalu keluarganya dikafirkan. Tak hanya itu, istrinya pun disuruh menceraikan suaminya karena dianggap sudah murtad, sudah tak sejalan dengan paham kelompoknya.
Baca juga Sepekan Bersama Eks Napiter
“Kita kadang ditarget teman sendiri dan belum ada sistem perlindungan seperti dipindahkan atau diberikan identitas baru,” ucap Kurnia.
Sementara itu, Ali Fauzi pernah mengalami ancaman teror yang menyasar jiwa diri dan keluarganya. Rumah kediamannya pernah dipasang peledak oleh jaringan kelompok ekstrem. “Bom dipasang di pintu rumah, saat pintu dibuka bom meledak. Namun, beruntung saya mengetahuinya dan saya memiliki kemampuan untuk menjinakkan bom sehingga tak sampai meledak,” tuturnya beberapa tahun silam.
Ancaman teror dan kecaman dari kelompok ekstrem tak hanya dilakukan di ranah nyata tapi juga melalui dunia maya. Baik melalui sambungan telepon, pesan pendek, maupun media sosial. Ancaman dan kecaman melalui dunia maya jauh lebih sering dialaminya.
Baca juga Penderitaan Korban Menyayat Batinnya
Menurut pengakuan Ali, serangan terhadap dirinya melalui dunia maya sudah tak terhitung jumlahnya. Beraneka macam makian hingga teror sudah sering dirasakannya.
Meski ada ancaman dan kecaman, Kurnia Widodo maupun Ali Fauzi tak gentar menghadapinya. Mereka pun tak menyurutkan tekadnya untuk terus berada di jalan perdamaian. Apalagi setelah mereka berinteraksi dengan korban terorisme dan mengetahui deritanya akibat aksi terorisme. Semangat dan tekad mereka semakin kuat untuk meninggalkan jalan kekerasan.
Baca juga Menuju Kedamaian yang Kafah