R20: Fikih Toleransi dan Rekonsiliasi Konflik
Oleh: Muhammad Taufiq
Direktur International Office dan Dosen Prodi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah, IAIN Madura
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sukses menggelar G20 Religion of Twenty (R20) di Bali. PBNU sangat tepat memilih Bali sebagai tempat berlangsung R20. Selain karena Bali merupakan tempat berlangsungnya Konferensi Tingkat Tinggi G20, Bali juga dikenal sebagai pulau yang terbukti mempraktikkan fikih koeksistensi antar agama-agama (Fikih al-Ta’âyus bayna al-Adyân) dengan adanya Puja Mandala, tempat peribadatan lima agama dalam satu kompleks.
Tujuan utama Forum R20 ini dalam rangka meneguhkan kembali peran tokoh agama-agama dalam mewujudkan toleransi (al-tasâmuh), rekonsiliasi konflik (fikih al-mushâlah), dan mewujudkan perdamaian dunia (al-salâm al-‘âlamî). Selain mendapatkan dukungan penuh dari pemerintahan Presiden Jokowi, forum ini juga menggaet Liga Muslim Dunia (Muslem World League/Râbithah al-‘Âlam al-Islâmî). Forum ini juga meneguhkan konsistensi NU menjelang satu abad dalam menjaga stabilitas politik global dan membangun fikih peradaban baru.
Baca juga Mazhab Pembinaan versus Mazhab Penjeraan
Dalam pembukaan R20, Ketua Umum PBNU Gus Yahya menyambut ratusan pemimpin agama dunia dengan ucapan “Selamat datang di tanah Hindu di negara Muslim terbesar. Selamat datang di Bali, sebuah tanah tempat di mana pemeluk Hindu berada yang mengizinkan NU, organisasi Muslim terbesar dan Liga Muslim Dunia, organisasi terpenting di dunia Islam, untuk membawa inisiatif di sini, di pulau ini, dengan semua para pemimpin agama berkumpul dari seluruh dunia.” Sambutan hangat ini mencerminkan toleransi dan koeksistensi antar agama.
Komite jazirah dan rekonsiliasi konflik
Pasca Arab Spring, beberapa negara Timur Tengah sampai saat ini dilanda konflik berkepanjangan. Tentu hal ini sangat memprihatinkan. Konflik yang diawali oleh demonstrasi di Tunisia, kemudian menjalar ke negara-negara Timur Tengah lainnya seperti Libya, Mesir, Sudan, Suriah, dan terakhir perang Arab Saudi-Yaman belum selesai. Dari konflik-konflik yang terjadi lalu di mana letak peran agama?
Baca juga Muktamar Muhammadiyah dan Nasionalisme Indonesia
Pada Muktamar Ke-33 NU di Jombang, usaha mencari jalan damai dan rekonsiliasi konflik telah disuarakan oleh kader Pengurus Pusat Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) yang kuliah di Timur Tengah. Banyak kader NU yang sedang belajar di Timur Tengah terdampak konflik. Sehingga, PBNU diharapkan ikut serta dalam rekonsiliasi konflik yang terbangun atas nilai-nilai ke-NU-an dan pengalaman keterlibatan PBNU dalam proses rekonsiliasi konflik di Afghanistan.
Merespons hal tersebut, PBNU menginisiasi International Summit of the Moderate Islamic Leaders (ISOMIL) di masa ketua umum Prof Dr KH Said Aqil Siradj. ISOMIL mendorong perndamaian dunia. Agenda ini berlangsung pada 9-11 Mei 2016 di Jakarta, diikuti oleh sekitar 400 pemimpin Muslim dari perwakilan Timur Tengah, Amerika, Australia, perwakilan Asia, dan kiai-kiai Nusantara. Kiai Said menegaskan bahwa, “Konflik di Timur Tengah tidak akan selesai jika belum ada titik temu antara prinsip agama dan prinsip negara.”
Baca juga Politik Identitas Keindonesiaan
Lalu konflik di Timur Tengah menjalar ke Indonesia. Polanya sangat mirip. Mulai dari polarisasi habaib dan kiai, sikap antipemerintah, hingga gerakan demonstrasi. Mengapa polanya dikatakan mirip, karena berangkat dari sikap antipemerintah (didda al-Hukûmah) lalu gerakan untuk menurunkan pemerintah yang sah (isqâtu al-Nidhâm) dan demonstrasi (al-mudhâharah) yang dilaksanakan pada hari Jumat. Ketiga pola ini seperti yang terjadi di Timur Tengah saat Arab Spring. Untungnya Kiai Said sangat tegas melarang warga NU untuk ikut gerakan tersebut.
Religion 20 dan fikih rekonsiliasi konflik
Religion 20 (R20) digagas dalam rangka rekonsiliasi konflik yang akhir-akhir ini terjadi. Konflik di Timur Tengah belum selesai, terjadi konflik perang antara Rusia dan Ukraina. Hal ini membuktikan bahwa konflik bukanlah karena agama, akan tetapi karena politik global. Dengan adanya R20, PBNU mengumpulkan tokoh agama-agama di dunia untuk berpikir mencari jalan keluar dan rekonsiliasi konflik tersebut. PBNU ingin memastikan bahwa agama merupakan inspirasi perdamaian, bukan justru menambah masalah. Ekstremisme, radikalisme, dan terorisme atas nama agama harus segera diberantas.
Baca juga Geng Siswa dan Kekerasan di Sekolah
Setelah Rais Am PBNU KH Miftahul Akhyar menyambut para pemimpin dunia di Bali, Indonesia sebagai negara besar yang tetap rukun damai meskipun ada keragaman (al-ta’addudiyah) suku budaya agama. Beliau juga mengajak para pemimpin agama dunia untuk menghadirkan kebangkitan agama sebagai solusi global dalam rangka akselerasi global dan mewujudkan perdamaian dunia berdasarkan moralitas dan etika.
Kebangkitan ini tentu sejalan dengan kebangkitan NU di abad kedua (Al-Nahdlah al-Tsâniyah). Ajakan ini tentu tidaklah mudah, agama yang pada dasarnya sebuah teologi diharapkan dapat dipraktikkan dan dapat melakukan akselerasi gerakan global sehingga terwujudnya perdamaian dunia.
Baca juga Meneladani Kenegarawanan Nabi
Gus Yahya juga menjelaskan bahwa visi utama dari forum ini bukanlah sekadar event (konferensi), akan tetapi dari sebuah gagasan forum ini menjadi sebuah gerakan global (global movement). Meskipun visi ini sangat berat, mengingat konflik di dunia bukanlah karena agama, akan tetapi politik. Akan tetapi setidaknya R20 menginspirasi pemimpin agama mengajak para pemimpin negara dunia untuk duduk bersama mencari titik temu, jalan tengah (wasathiyah), dan koeksistensi baik relasi antara agama dan negara, maupun koeksistensi antarsekte dan agama-agama.
Komitmen PBNU ini, mendapatkan respons yang luar biasa dari seluruh pemimpin dunia, tak terkecuali Sekretaris Jenderal (Sekjen) Liga Muslim Syekh Mohammed Al-Issa. Menurutnya kunci utama dari persatuan (al-Wihdah) dan perdamaian (al-Salâm) adalah toleransi (al-Tasâmuh).
Baca juga Efek Sorotan
Gagasan sekjen ini, sangat sejalan dengan program Gus Menteri Yaqut di Kementerian Agama yang menjadikan tahun 2022 sebagai tahun toleransi. Bahkan untuk meredam konflik, Uni Emirat Arab sampai mendirikan Kementerian Toleransi dan Koeksistensi (Wizâratu al-Tasâmuh wa al-Ta’âyus) pada oktober 2017 yang dipimpin oleh Menteri Ma’ali Syekh Nahyan Mubarak Al Nahyan.
Pendeta Amerika, Thomas Johnson, menyebut Indonesia miliki toleransi tinggi. Sebagai negara mayoritas Muslim terbesar, Indonesia menjadi panutan. Selain sikap penduduknya yang moderat, tidak ekstremis, ia juga melihat Indonesia agama yang beragam bisa saling rukun, bekerja sama dan hidup berdampingan di bawah negara kebhinekaan.
Baca juga Akhlak Mulia
Menurutnya, sikap ekstremisme, pemaksaan atas nama agama juga ada di beberapa institusi Kristen. Sehingga hal ini menjadi tanggung jawab pemimpin setiap agama untuk meredam ekstremisme, pemaksaan, hingga ancaman atas nama agama dengan sikap toleransi.
Sikap toleransi dalam mewujudkan perdamaian juga mendapatkan dukungan penuh dari Direktur The Bochasanwasi Shri Akshar Purushottam Swaminarayan Sanstha (BAPS) Swaminarayan Research Institute, Mahamahopadhyaya Swami Bhadresdas. Menurutnya, untuk menyelesaikan persoalan global dengan penuh damai dan harmoni harus bersatu, keimanan bukanlah penghalang untuk membangun persatuan. Persatuan terbentuk dari persaudaraan yang menghadirkan penghormatan kepada sesama manusia.
Baca juga Ki Hadjar dan Engku Syafei, Inspirator Kemerdekaan dari Ruang Kelas
Baginya perbedaan justru menjadi perekat sosial karena membentuk sikap toleransi. Dalam Hindu, dialog telah menghasilkan nilai kebajikan dan kemanusiaan. Harapannya R20 ini dapat terintegrasi dialog keagamaan antar umat beragama secara terus-menerus.
Alhasil, forum R20 yang diinisiasi oleh PBNU dan Liga Muslim Dunia sangat menginspirasi pemimpin agama dunia. Dalam upaya membangun dialog antarumat beragama dan membangun peradaban dunia baru dengan fikih toleransi dan rekonsiliasi konflik di tengah arus transformasi global.Peradaban baru yang tanpa konflik, penuh damai dan saling menghargai.
Baca juga ”Overthinking”
Peradaban tanpa sikap ekstremisme (al-tatharruf) yang berujung pada radikalisme dan berakhir pada terorisme (al-Irhâbiyah). Peradaban yang menghargai nilai kemanusiaan, mengedepankan moral. Peradaban yang dapat membawa perubahan global dalam mewujudkan perdamaian dunia (al-salâm al-‘Âlami). Semoga!
*Artikel ini terbit di Kompas.id edisi 7 November 2022 11:00 WIB
Baca juga Islam Indonesia Berkelanjutan