Menguatkan Pengendalian Diri dari Tindak Kekerasan
Oleh Muhammad Saiful Haq
Master Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
“Di awal-awal saya sangat dendam kepada para pelaku. Sumpah serapah saya ucapkan kepada para pelaku bom,” ujar Sudjarwo dalam salah satu kegiatan AIDA. Sudjarwo merupakan penyintas Bom Kuningan 9 September 2004.
Tak sekadar marah kepada pelaku, dampak ledakan membuat Sudjarwo menjadi temperamental. Ia mengaku mudah marah dan gampang tersinggung. Belum lagi bila melihat pemberitaan tentang para pelaku bom, emosinya langsung meluap. Ia marah dan dendam. Ia merasa tak bersalah namun justru menjadi korban.
Baca juga Puasa sebagai Emansipasi
Marah dan dendam juga dialami oleh para penyintas bom lain. Misalnya Nanda Olivia Daniel, yang juga menjadi korban Bom Kuningan. Ketika Nanda pertama kali dipertemukan dengan salah satu mantan pelaku terorisme, amarahnya berkecamuk. “Kalau saya tidak menghormati teman-teman yang ada di situ dan AIDA, mungkin saya sudah lempar gelas ke arahnya,” ucap Nanda mengingat pertemuan tersebut.
Situasi sulit terkadang membuat seseorang merasa frustasi sehingga emosi negatif yang mendominasi. Tidak jarang pula emosi negatif tersebut meledak dan terlampiaskan melalui cara-cara kekerasan, baik verbal maupun fisik. Tidak hanya ditujukan kepada orang lain, namun yang lebih berbahaya bila kekerasan itu mengarah kepada diri sendiri, seperti menghakimi diri sendiri, dorongan untuk melakukan tindakan yang melukai fisik, termasuk keinginan bunuh diri.
Baca juga Puasa, Mosaik Spiritualitas Luhur
Peluapan emosi melalui kekerasan bukannya menyelesaikan masalah, namun justru melahirkan masalah baru. Oleh sebab itu, kita perlu “menginjak rem” agar bisa mengatur emosi yang muncul. Salah satunya dengan menguatkan kemampuan pengendalian diri.
Pengendalian diri dan kekerasan
Beberapa ahli psikologi menyatakan, pengendalian diri atau self-control merupakan serangkaian proses pada seseorang untuk menyusun, mengatur, membimbing, serta mengarahkan respons fisik dan psikologis pada bentuk perilaku yang dapat menjadikan individu bersikap positif terhadap lingkungannya. Dalam konteks ini mengutamakan cara-cara damai daripada kekerasan.
Riset menunjukkan bahwa kemampuan mengendalikan diri yang baik berkaitan erat dengan kecenderungan untuk tidak berperilaku kekerasan (Paramita, 2016; Putri, 2020). Riset berjudul Violence Restrained: Effects of Self-regulation and its Depletion on Aggression menjelaskan bahwa kecenderungan seseorang berperilaku agresif kepada orang lain dipicu oleh pengendalian diri. Secara spesifik disebutkan sebagai kegagalan menahan diri karena berkaitan pada norma-norma individu yang dilanggar. Subyek penelitian yang dipublikasikan Journal of Experimental Social Psychology tersebut menunjukkan, respons berupa perilaku kekerasan meningkat terutama setelah provokasi yang menghina norma-norma sosial yang dipercayai subyek.
Baca juga Pembangunan dan Perdamaian
Kesimpulan dari riset di atas adalah bahwa pengendalian diri yang baik membantu seseorang mengatasi potensi kekerasan dalam dirinya saat mengalami masa sulit. Bahkan menurut mazhab psikologi positif, kedamaian batin (inner peace) tercapai karena adanya pengendalian diri berupa kemampuan menyeimbangkan dan mengontrol emosional yang baik (Barua, 2014).
Nanda Olivia yang urung melemparkan gelas ke arah mantan pelaku terorisme karena menghormati orang lain di sekitarnya merupakan contoh nyata perilaku dan sikap pengendalian diri. Ia lebih memilih melakukan tindakan positif yang lebih bisa diterima orang sekitarnya, alih-alih meluapkan emosi negatifnya dengan melakukan kekerasan.
Ramadan dan pengendalian diri
Bagi umat muslim, Ramadan merupakan momentum tepat untuk melatih kemampuan pengendalian diri. Kewajiban umat Islam untuk menjalankan ibadah puasa di bulan suci menjadi penunjang. Sering kita temui nasehat bahwa berpuasa bukan hanya sekadar menahan makan, minum, dan berhubungan badan, namun lebih jauh berpuasa adalah menahan dorongan berbuat keji.
Baca juga Perjalanan Moralitas yang Terseok
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang sedang berpuasa, tetapi tetap mengucapkan dan mengerjakan perbuatan yang kotor, keji, dan dusta, maka tidak ada alasan bagi Allah untuk memberikan pahala kepadanya lantaran ia meninggalkan makan dan minumnya.”
Pengendalian diri dapat mengatasi segala tantangan yang kita hadapi. Puasa mengajarkan kita untuk mengawasi diri sendiri. Pasalnya kita lebih mudah mengawasi bahkan menasehati orang lain daripada diri sendiri. Dalam salah satu riwayat, usai perang Badar, Rasulullah Saw memeringatkan hal tersebut kepada sahabatnya. Nabi Muhammad bersabda, “Kita kembali dari peperangan yang kecil kepada peperangan yang besar.” Para sahabat bertanya, ‘Apakah peperangan yang mahabesar itu, hai Rasulullah?’ Perang melawan hawa nafsu,” demikian Rasul menjawab.
Baca juga Hukum dan Keadaban Publik
Mari kita menjadikan momentum Ramadan untuk meningkatkan ketakwaan dan keimanan. Kita belajar meningkatkan pengendalian diri dengan menjernihkan hati dari rasa benci, hasut, dan praktik kekerasan agar mampu menjadi manusia yang lebih dekat kepada ketakwaan.
Baca juga Kemerosotan Keadaban Publik dan Agama