Hikmah Puasa bagi Perdamaian
Oleh: Faruq Arjuna Hendroy
Alumni IMM Komisariat UIN Syarif Hidayatullah Ciputat
Ramadan akan segera berakhir. Kita tak pernah tahu apakah akan berjumpa lagi dengan bulan mulia ini. Selama satu bulan, umat Islam harus menahan diri dari hawa nafsu dan hal-hal lain yang sifatnya duniawi, seperti menahan diri dari makan dan minum, menahan diri dari menggauli pasangan (bagi yang sudah menikah), menahan diri dari berkata-kata jelek, serta menahan diri dari tindakan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.
Ramadan disebut juga sebagai bulan riyadhah, artinya di bulan ini umat Islam dilatih dan ditempa menjadi pribadi yang lebih baik. Mampu mengelola hawa nafsunya dan menghindari diri dari perbuatan buruk. Bukan berarti ketika Ramadhan berakhir, umat Islam boleh kembali melakukan hal-hal negatif yang mereka tinggalkan selama bulan Ramadhan. Namun apa yang menjadi kebiasaan di bulan Ramadan harus dipraktikkan di bulan-bulan lain.
Baca juga Puasa: Meraih Hidup Bermakna
Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 183 yang sangat populer itu, tujuan akhir yang hendak dicapai oleh orang-orang yang berpuasa adalah agar umat Islam mencapai ketakwaan. Ketakwaan dapat diartikan sebagai sikap menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Bagaimanapun, ketakwaan di sini seharusnya tidak hanya diartikan sebagai hubungan antara seorang hamba dengan Tuhan-Nya. Ketakwaan seorang muslim juga menyentuh aspek hubungan antarsesama. Singkatnya, selain memiliki aspek vertikal, takwa juga memiliki aspek horizontal sosial.
Jika merunut kata dasar dari takwa itu sendiri, takwa berarti menjaga sesuatu dari hal-hal yang sifatnya mengganggu, sehingga membuat suatu keadaan menjadi tidak baik. Sebagai manusia, setiap muslim sehari-harinya menjalin hubungan dengan orang lain. Maka takwa itu hendaknya diejawantahkan melalui kepedulian, kasih sayang, welas asih, dan sikap saling menghargai. Sehingga timbul rasa aman dan selamat bagi orang lain. Ini diperkuat oleh sabda Rasulullah SAW; Seorang muslim adalah orang yang muslim lain selamat dari lisan dan tangannya (HR Bukhari).
Baca juga Membaca Pikiran Teroris
Kembali ke soal hawa nafsu yang menjadi alasan kenapa puasa diwajibkan. Memang hawa nafsu ini merupakan instrumen yang melekat pada manusia sejak pertama kali diturunkan ke muka bumi. Hawa nafsu ini juga yang membedakan manusia dengan malaikat, di mana dengan ketiadaan hawa nafsu itu, malaikat hanya patuh beribadah kepada Allah dan tidak akan pernah membangkang perintah-Nya.
Makanya ketika Allah SWT hendak menciptakan manusia dan menjadikan mereka sebagai pemimpin di muka bumi, malaikat sempat mempertanyakan. Kisah itu termaktub dalam QS Al-Baqarah ayat 30. Malaikat bertanya mengapa Allah memilih manusia, sosok yang suka merusak dan menumpahkan darah, sebagai ahli waris bumi. Pertanyaan malaikat ini menggambarkan bahwa manusia, dengan hawa nafsu yang mereka punya, berpotensi menjadi pribadi-pribadi yang problematis bagi bumi dan seisinya.
Baca juga Ramadhan Bulan Membaca
Ketika Nabi Adam pertama kali diutus ke bumi, ia dikaruniai dengan 2 anak laki-laki dan 2 anak perempuan. Mereka lahir secara kembar. Habil lahir bersama dengan Labuda, dan Qabil bersama Iqlima. Ketika mereka beranjak dewasa, Allah SWT memerintahkan Nabi Adam untuk menikahkan mereka agar manusia dapat berkembang biak di muka bumi.
Mereka dikawinkan secara silang, Habil dinikahkan dengan Iqlima, sementara Qabil dinikahkan dengan Labuda. Karena didorong oleh hawa nafsu, Qabil menolak dikawinkan dengan adik Habil, Labuda. Ia menolak perintah sang ayah untuk dinikahkan dengan Labuda. Karena Qabil tetap berpegang pada pendiriannya untuk tidak menikahi Labuda, Nabi Adam akhirnya menyuruh kedua putranya, Habil dan Qabil, untuk berkurban. Itu sebagai cara menentukan pasangan mana yang akan mereka nikahi.
Baca juga Menguatkan Pengendalian Diri dari Tindak Kekerasan
Habil yang bekerja sebagai peternak menjadikan kambing terbaiknya sebagai hewan kurban. Sementara Qabil yang bekerja sebagai petani, hanya menjadikan hasil pertaniannya yang sudah busuk sebagai kurban. Kedua kurban ini dibawa ke atas bukit. Seketika, datang cahaya berupa api dari langit dan menyambar kurban milik Habil, yang itu artinya Allah Swt memilih kurban Habil karena memberikan yang terbaik. Sedangkan kurban milik Qabil dibiarkan begitu saja. Itu artinya, Qabil harus menerima kenyataan untuk menikahi Labuda.
Lagi-lagi Qabil dirasuki hawa nafsu. Karena tidak terima, Qabil menjadi gelap mata. Terpikir olehnya untuk melakukan aksi nekat, yaitu membunuh saudaranya itu. Benar saja, saat Habil sedang menggembala ternaknya jauh dari rumah, Qabil memukul kepala Habil dengan batu yang besar. Habil tersungkur dengan darah bercucuran. Ia pun tewas seketika. Kejadian ini menjadi peristiwa kekerasan pertama yang dilakukan manusia.
Baca juga Puasa sebagai Emansipasi
Seiring waktu berlalu, aksi-aksi kekerasan terus terjadi karena didorong oleh faktor duniawi dan hawa nafsu. Sebut saja aksi terorisme. Terorisme adalah bukti dari gagalnya suatu kelompok dalam menahan hawa nafsu. Terorisme adalah bukti kongkrit keegoisan, di mana pelakunya hanya memikirkan ambisinya sendiri, tanpa memerhatikan dampak yang ditimbulkan dari perbuatan mereka terhadap orang lain.
Mereka mengaku ingin menegakkan ajaran agama lewat kekuasaan, namun langkah yang diambil jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Mereka melakukan aksi kekerasan di sana-sini untuk mencapai tujuannya, mulai dari pengeboman, penembakan, penusukan, dan lain sebagainya. Akibatnya, banyak orang yang tak bersalah menjadi korban.
Baca juga Puasa, Mosaik Spiritualitas Luhur
Pada akhirnya, apa yang mereka lakukan justru kontraproduktif dengan kondisi ideal yang diinginkan Islam. Bukannya tertarik, orang-orang di luar Islam malah jadi takut (islamophobia). Padahal Islam telah menetapkan metode dakwah dalam Q.S An Nahl 125. Dakwah hendaknya disampaikan dengan hikmah (bijaksana) dan pengajaran (tutur kata) yang baik, agar orang mau menerima dakwah Islam. Jika ada perbedaan, Islam menganjurkan umatnya berdiskusi dengan cara-cara yang baik, untuk menemukan titik tengah dari sebuah persoalan. Islam tidak pernah mengajarkan penganutnya untuk menyelesaikan masalah dengan mengedepankan emosi dan cara-cara kekerasan, karena itu semua sejatinya berasal dari hawa nafsu.
Maka dari itu, mengelola hawa nafsu sejatinya menjadi hal yang penting agar tidak timbul kerusakan baik bagi diri sendiri dan orang lain. Momentum Ramadhan ini hendaknya dijadikan sebagai ajang bagi umat Islam untuk berlatih mengelola hawa nafsu. Semoga Allah swt menerima puasa kita dan menjauhkan kita dari pengaruh hawa nafsu yang sifatnya merusak.
Baca juga Pembangunan dan Perdamaian