Home Opini Idul Kurban dan Semangat Ketangguhan
Opini - 14/08/2019

Idul Kurban dan Semangat Ketangguhan

Oleh Fahmi Suhudi
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta

Hari Raya Idul Adha 1440 H kali ini menjadi istimewa karena bertepatan dengan bulan kemerdekaan Republik Indonesia. Spirit pengorbanan dan kemerdekaan melebur sekaligus dalam teladan Ibrahim dan Ismail. Ayah dan anak itu rela mengorbankan yang paling berharga dalam kehidupan mereka bagi dan demi Allah Swt. Mereka adalah jiwa-jiwa yang merdeka dari dorongan ego, keakuan diri. Dengan pengorbanan luar biasa dan kerelaan untuk mengesampingkan ego, Allah jadikan keduanya sebagai manusia tangguh yang menginspirasi peradaban manusia.

Idul Adha adalah momen berkelanjutan dari peristiwa historis-religius, pengurbanan Ibrahim As tersebut. Ia sarat akan makna spiritual untuk kehidupan kita di era masa kini. Secara bahasa, kata ‘ied’ berarti kembali, sedangkan kata ‘adha’ bermakna penyembelihan. Dari sini bisa dipahami, bahwa perayaan Idul Adha dapat dimaknai sebagai spirit untuk kembali berkurban, yaitu menyembelih sifat-sifat kebinatangan dalam diri kita -yang direpresentasikan dengan hewan kurban- demi mengharap keridaan Allah semata.

“Sebaik-baik manusia ialah yang paling memberikan kemanfaatan kepada manusia”.

Dari segi spiritualitas, ibadah kurban mengandung dua makna penting. Pertama, berkurban sebagai aktivitas spiritual personal yaitu pelaksanaan ritual ibadah an sich sebagai wujud ketaatan kepada Allah. Kedua, kurban sebagai ibadah horizontal, yakni menjalin kepedulian di antara sesama. Berkurban berarti membiasakan diri serta berlomba-lomba untuk memberikan perhatian, bantuan, dan pertolongan kepada yang membutuhkan, sehingga dari itu solidaritas sosial menjadi lebih kuat. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat hadis, Rasulullah Saw bersabda: “Sebaik-baik manusia ialah yang paling memberikan kemanfaatan kepada manusia”.

Mengasah Ketangguhan

Ketaatan dan penerimaan Ibrahim atas perintah Allah, serta keikhlasan luar biasa dari Ismail, memberikan pelajaran kepada manusia bahwa hidup membutuhkan pengorbanan dan ketangguhan. Menurut Quraish Shihab (2017), berkurban tidak hanya bentuk kepatuhan hamba terhadap perintah, keputusan dan takdir Allah, tetapi juga bisa diartikan memberikan kebahagiaan kepada orang lain. Dalam kehidupan sosial di masyarakat, yang berkelebihan mengorbankan sebagian hartanya untuk menyembelih hewan kurban, kemudian dagingnya dibagi kepada yang membutuhkan. Demikianlah keteraturan sosial yang berlaku umum di masyarakat. Dengan berkurban, solidaritas sosial masyarakat bisa terbangun, dan dari itu kebersamaan serta kemanfaatan bersama dapat dicapai.

Baca juga Refleksi Kurban: Menahan Ego Demi Perdamaian

Sementara itu, Cholil Nafis (2018) mengatakan, berkurban merupakan sarana untuk meningkatkan kesalehan sosial. Berbeda dengan ritual ibadah lain seperti shalat, yang hanya berkepentingan tentang “aku”, maka berkurban berbicara tentang “kita”. Secara lahir, pahala dari ibadah kurban memang hanya diberikan kepada orang yang berkurban. Namun, hakikatnya berkat dari pengurbanan individual tersebut berbagai kemaslahatan sosial dalam masyarakat dapat mewujud. Dari sini dapat dipahami bahwa dari ibadah kurban, tidak ada ‘aku’ lagi, yang ada adalah ‘kita’, menjadi ‘bersama’.

Pengorbanan Ibrahim dan Ismail memberikan pelajaran penting, bagaimana kita memiliki ketangguhan, yakni kemampuan untuk menguasai diri, menahan diri dari ego yang berlebihan, perjuangan dan ketaatan pengabdian, serta rela berkorban demi kemaslahatan sosial.

Sifat-sifat ketangguhan dalam semangat kurban dapat kita temukan contoh empirisnya dari kisah para korban aksi terorisme dan mantan pelaku. Para korban, meskipun takdir menggariskan mereka harus mengalami luka, bahkan sampai menjadi cacat seumur hidup, atau kehilangan orang terkasihnya, namun kenyataan itu tidak membuat mereka lemah. Justru, mereka menampakkan ketabahan dan perjuangan untuk bangkit dari keterpurukan.

Sebagai contoh adalah kisah Hayati Eka Laksmi, seorang korban tidak langsung dari peristiwa Bom Bali, 12 Oktober 2002 silam. Perempuan asal Malang, Jawa Timur ini kehilangan suaminya, Imawan Sarjono, yang meninggal dunia terkena ledakan bom tersebut. Sejak saat itu, Eka Laksmi berjuang membesarkan anak-anaknya seorang diri. Di tengah keterbatasannya, Eka mampu berdamai dengan pahitnya masa lalu, mengajarkan anak-anaknya untuk tidak menaruh dendam, bahkan secara perlahan berkenan untuk memaafkan para mantan pelaku aksi terorisme. Ia telah melebur tembok kebencian yang sempat menghalanginya untuk memaafkan. Hubungan Eka dengan mantan pelaku kini sangat cair dan dinamis. Eka terus mendukung para mantan pelaku yang telah bertobat untuk menyadarkan masyarakat akan dampak dan bahayanya paham keagamaan yang ekstrem.

Inspirasi ketangguhan juga ditemukan dalam kehidupan mantan pelaku terorisme. Hasibullah Satrawi (2018) berpandangan, dari pengalaman mantan pelaku terorisme dapat diresapi bahwa mereka berani berhijrah dari jalan kekerasan menuju perdamaian. Sungguh tidak mudah bagi yang pernah bergabung dengan kelompok teroris untuk mengakui kesalahan apalagi menjalin rekonsiliasi dengan korban terorisme. Jalan hijrah dari jalan kekerasan menuju perdamaian meniscayakan banyak ancaman, intimidasi dan tantangan dari jaringan lamanya. Di sinilah ketangguhan diri mantan pelaku perlu diapresiasi.

Korban dan mantan pelaku yang telah sama-sama menanamkan ketangguhan diri mampu mewujudkan terjalinnya rekonsiliasi di antara mereka. Mantan pelaku telah menyadari kekeliruan masa lalunya serta meminta maaf kepada para korban, kemudian kini berupaya memperbaiki kesalahan dengan cara mengampanyekan perdamaian ke masyarakat. Para korban yang telah kuat melampaui kesedihan masa lalu pun membuka pintu maaf. Mereka membagikan kisah-kisah inspiratif kepada khalayak umum agar kesadaran bersama tentang pentingnya menjaga perdamaian senantiasa menguat. Perjuangan korban dan mantan pelaku menahan ego dan mengupayakan perdamaian merupakan sebentuk ketangguhan yang luhur demi terciptanya Indonesia yang lebih damai.

Baca juga Alasan di Balik Sebuah Pemberian Maaf

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *