PBB Peringati Hari Korban Terorisme Internasional
Aliansi Indonesia Damai- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memeringati Hari Internasional untuk Mengenang dan Memberikan Penghormatan kepada Korban Terorisme dengan menggelar pameran foto dan testimoni korban di Markas Besar PBB New York, Amerika Serikat, Rabu (21/8) lalu. Kantor PBB untuk urusan tangkal-terorisme, UNOCT dan UNCCT, mengundang sejumlah korban terorisme dari seluruh dunia guna berbagi inspirasi.
Sudirman A. Talib, penyintas Bom Kuningan 2004, diundang untuk hadir dalam kegiatan tersebut sebagai perwakilan dari Indonesia.
Perkumpulan Teman Korban Terorisme (Group of Friends of Victims of Terrorism) yang baru dibentuk oleh PBB pada Juni lalu turut terlibat dalam acara. Kelompok tersebut menggambarkan keberadaan korban melalui pameran foto yang digelar bersama dengan UNOCT.
Pameran tersebut dibuka oleh Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, dan akan berlangsung hingga akhir Agustus 2019. Dalam kesempatan tersebut, Guterres menyampaikan bahwa ancaman terorisme dan kekerasan ekstremisme merupakan tantangan yang paling kompleks. Sambil menunjuk foto-foto atas serangan mengerikan di Afghanistan, Mesir, Nigeria dan sejumlah belahan dunia lainnya, ia mengatakan bahwa banyak orang tak bersalah menjadi korban aksi teroris. “Banyak nyawa tidak berdosa terenggut secara tragis oleh kekejaman ini,” ujarnya.
Baca juga 21 Agustus: Hari Korban Terorisme se-Dunia
Ia menambahkan, warga dunia harus bersatu untuk menangani permasalahan ekstremisme. “Pesan dari foto-foto ini jelas dan sederhana. Mari kita ubah pengalaman mengerikan ini menjadi kekuatan yang kuat dan positif untuk perubahan,” kata dia.
Dilansir dari laman resmi PBB, Guterres juga menyampaikan advokasi terkait bantuan untuk korban. Ia menekankan bahwa bantuan yang diberikan harus mampu mendukung kondisi jangka panjang dan multidimensi bagi korban dan penyintas terorisme. Sehingga, dibutuhkan kerjasama dengan pemerintah dan masyarakat agar mereka bisa pulih dan membangun kembali hidup mereka.
Direktur Eksekutif Kantor PBB untuk urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC), Yury Fedotov, hadir dan memberikan pesan dalam acara ini. Ia menyampaikan dedikasi UNODC untuk memberdayakan semua korban terdampak dalam mengambil tindakan melawan terorisme. Fedotov juga menekankan bahwa hak-hak korban terorisme harus dipenuhi. “Korban sering mengalami kesulitan dalam mencari keadilan, termasuk dalam akses informasi sebelum, saat dan pascakejadian,” katanya.
Ia menambahkan bahwa negara-negara anggota PBB mesti berbuat lebih banyak untuk mengembangkan pendekatan peradilan pidana yang berpusat pada korban dan berbasis pada hak sebagai bagian dari kerangka kerja komprehensif kontra-terorisme yang memenuhi segala aspek kebutuhan korban.
“Suara semua korban dan penyintas terorisme sangat penting dalam melawan terorisme dan mencegah serangan di masa depan,” katanya.
Beberapa korban atau keluarganya yang hadir dalam acara itu diberi kesempatan untuk menceritakan pengalaman, serta inspirasi untuk tetap tabah setelah terorisme menyerang. Para korban menyampaikan pesan untuk menentang segala bentuk kebencian. Istri dari salah satu korban meninggal dari serangan di Nairobi pada tahun 1998, Sarah Tikolo, menyampaikan bahwa berpegang pada kemarahan dan kebencian justru akan menimbulkan lebih banyak kerugian baik secara fisik maupun mental.
Sebagai rangkaian dari acara peringatan Hari Internasional untuk Mengenang Korban Terorisme, UNCCT dan UNOCT juga menampilkan pameran virtual berjudul Surviving Terrorism: The Power Of Resilience. Pameran itu mengisahkan tentang berbagai macam alasan para korban untuk tetap tegar setelah dihantam aksi teror.
Dari 20 korban yang dikumpulkan dari seluruh dunia, Sudirman merupakan satu-satunya perwakilan dari Indonesia. Ia berbagi pengalamannya sebagai salah satu korban aksi teror bom di Kedutaan Besar Australia di Jakarta pada 9 September 2004. “Saya kehilangan mata kiri, jari-jari di kedua tangan saya rusak dan menderita kerusakan permanen pada saraf di kepala. Kondisi tersebut menjadi hal paling traumatis dan paling sulit yang pernah saya alami. Sampai sekarang, saya masih harus minum 5 jenis obat berbeda setiap harinya.” Demikian tulisnya dalam sebuah poster yang menampakkan gambar dirinya.
Sudirman juga berpesan bahwa keluarga menjadi hal paling utama dalam proses penyembuhannya. Dukungan yang tiada henti dari keluarga menjadi dorongan semangat terbesar baginya untuk bangkit kembali. Lebih dari itu, Sudirman bahkan telah aktif melakukan kampanye perdamaian di Indonesia sejak tahun 2013. Kampanye tersebut dilakukan dengan mengunjungi sejumlah elemen masyarakat untuk meningkatkan kesadaran tentang dampak dari terorisme. [WTR]
Baca juga Resolusi PBB Untuk Korban Terorisme
1 Comment