Pentingnya Membudayakan Perdamaian Sejak dalam Pikiran
Di setiap penghujung September, dunia memperingati Hari Perdamaian Internasional. Setiap elemen merayakannya dengan pelbagai aksi, seperti minute of silence, kegiatan pendidikan perdamaian, dialog antargolongan, dan aktivitas-aktivitas lainnya yang dapat menunjang sikap saling memahami dan kerja sama.
Perayaan resmi digelar di Markas Besar Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Setiap tahunnya, PBB membunyikan Lonceng Perdamaian sebanyak dua kali, yaitu pada hari pertama musim semi dan saat akan menyambut hari Perdamaian Internasional. Lonceng Perdamaian telah ada sejak tahun 1950-an, di mana berbagai negara saat itu menyumbangkan koin dan medali untuk membuat sebuah lonceng yang akan menjadi simbol harapan perdamaian di kemudian hari.
Lahirnya hari perayaan Perdamaian Internasional berasal dari keresahan dimana sepanjang abad ke-20, masyarakat dunia resah akan terjadinya konflik berskala besar. Perang Dunia Pertama, Perang Dunia Kedua, dan Perang Dingin adalah rentetan konflik yang telah merenggut jutaan jiwa. Dunia dibuat seperti tidak bisa menghela nafas sejenak dan memulihkan diri dari aksi-aksi destruktif.
Baca juga Memaafkan, Melampaui Derita
Kekacauan itulah yang mendorong munculnya niat bersama untuk mewujudkan dunia yang lebih aman. Dalam pertemuan Majelis Umum PBB tahun 1981, negara-negara anggota sepakat untuk memilih satu hari untuk dijadikan sebagai Hari Perdamaian Internasional. PBB ingin hari itu dirayakan sebagai upaya untuk memperkuat wacana perdamaian, baik dalam satu bangsa ataupun antarsesama bangsa.
Dua puluh tahun kemudian, tepatnya pada 2001, Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi baru yang memperluas hakikat dari Hari Perdamaian Internasional. Hari Perdamaian Internasional mesti menjadi hari dimana tidak ada kekerasan yang terjadi dan pihak-pihak yang berkonflik segera menghentikan perang serta memulai proses dialog. Tanggal 21 September pun dipilih menjadi Hari Perdamaian Internasional.
PBB memberikan definisi terkait makna perdamaian. Perdamaian tidak hanya berarti sebuah kondisi ketika tidak ada konflik, namun juga merupakan sebuah proses dimana dialog harus dikedepankan dan konflik mesti diselesaikan dalam semangat kerja sama dan sikap saling memahami. Wacana perang pasti senantiasa muncul dari benak manusia. Maka dari benak manusia itu juga keputusan untuk memutus rantai konflik seyogianya timbul.
Baca juga Menjaga Keharmonisan di Tengah Masyarakat
Pasca-berakhirnya Perang Dingin, dunia diproyeksikan akan memasuki fase puncak peradaban manusia yang diukur dari modernisasi, pembangunan ekonomi, dan penghormatan terhadap hak-hak manusia. Sebuah kondisi yang disebut Francis Fukuyama sebagai “the end of history”.
Bersamaan dengan itu, Amerika Serikat tampil sebagai satu-satunya penguasa adidaya. Badan internasional pun ikut mengalami penguatan peran dalam mengatasi masalah-masalah baru di dunia internasional, mulai dari krisis lingkungan, krisis pangan, masalah kesejahteraan dan kesehatan, hingga tantangan multikulturalisme. Dengan kondisi dunia yang lebih baik dan sejahtera, diharapkan konflik akan mereda dengan sendirinya.
Meskipun begitu, realita tidak seindah yang diharapkan. Gejolak-gejolak pada tataran lokal dan regional masih kerap terjadi, meski dunia saat ini bergerak relatif lebih stabil dibandingkan satu abad lalu yang dipenuhi pertumpahan darah. Wilayah yang paling merasakan ketidakstabilan di abad ke-21 ini adalah kawasan Timur Tengah. Intervensi negara adidaya, perebutan kekuasaan, dan persaingan antarsekte membuat Timur Tengah menjadi lebih berdarah daripada sebelumnya.
Baca juga Hari Internasional bagi Korban Terorisme: Mengenang dan Menguatkan Semangat Kemanusiaan
Jika sebelumnya konflik di sana hanya berkisar dari pertikaian Arab-Israel, saat ini negara-negara Timur Tengah lainnya mulai ikut bergolak. Dalam hitung-hitungan kasar, konflik Afghanistan merenggut 111 ribu nyawa, konflik Yaman merenggut 130 ribu nyawa, konflik Suriah merenggut 500 ribu nyawa, dan konflik Irak merenggut lebih dari satu juta nyawa. Ini belum termasuk konflik Israel-Palestina yang masih berlangsung dan terus menimbulkan jatuhnya korban jiwa.
Bahkan, dalam dua tahun terakhir konflik kembali terjadi di tanah Eropa. Rusia melakukan invasi besar-besaran ke Ukraina yang menimbulkan ketidakpastian global dan memengaruhi aktivitas perdagangan dunia. Lebih parah lagi, konflik Rusia-Ukraina sangat berpotensi memicu eskalasi perang yang lebih besar karena melibatkan negara-negara major power. Saat ini, hampir 10 ribu orang tewas akibat krisis Rusia-Ukraina.
Baca juga Cyberbullying
Oleh sebab itu, semangat hari perdamaian masih relevan dalam konteks kekinian. Semangat perdamaian harus menjadi budaya. Kita tidak bisa menafikan konflik. Tetapi ketika konflik akan atau sedang terjadi, pihak-pihak terkait harus punya kesadaran diri kapan harus berhenti dan memilih untuk berdamai demi kebaikan bersama.
Menumbuhkan budaya damai tentu membutuhkan waktu panjang. Generasi penerus dari seluruh dunia perlu memahami bahwa dunia yang diisi dengan kerja sama dan sikap saling menghargai tidak hanya bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia, namun juga berdampak positif bagi lingkungan dan alam. Karena pada hakikatnya manusia diciptakan sebagai penjaga bumi, bukan perusaknya.
Baca juga Perjumpaan dengan Korban Mengubah Pemikiran Mantan Pelaku Terorisme