Mendengar Pertaubatan Mantan Pelaku Terorisme, Tokoh Agama Tersentuh
Aliansi Indonesia Damai – Kisah hidup seseorang terkadang tidak semulus yang diharapkan. Ada lika-liku dan jalan terjal yang dihadapi. Namun demikian, perjalanan hidup juga dapat memberikan pembelajaran kepada orang lain, terutama bagi yang ingin merawat jalan perdamaian. Demikian, salah satu pembelajaran penting dari pertemuan antara mantan pelaku dan korban terorisme dalam Pelatihan Pembangunan Perdamaian di Surakarta (30-31/10).
Adalah Choirul Ikhwan selaku narasumber. Dia besar dalam keluarga Islam tradisionalis dan mendapatkan pendidikan di salah satu pondok pesantren. Namun seiring perjalanan waktu, karena faktor bacaan dan semangat keislaman yang tinggi, pria asal Madiun ini bergabung dengan organisasi pro kekerasan. Ia juga mendapatkan pelatihan militer dan bergabung dengan kelompok Jamaah Taliban Melayu (JTM) tahun 2008.
Baca juga Ikhtiar Tokoh Agama Wujudkan Perdamaian Indonesia
”Narasi perlawanan dan ketidakadilan yang dialami oleh umat Islam, terus menerus disampaikan membuat saya merasa harus ikut berjuang. Bahkan sampai mengkafirkan orangtua saya sendiri,” tutur Choirul.
Pria kelahiran 21 Mei 1981 ini merasa pemahamannya tentang Islam paling benar. Dia juga berpandangan bahwa agama melegitimasi kekerasan.
Setelah bergelut lama dalam dunia terorisme, Choirul mengalami titik balik di tahun 2013. Dia mendapatkan firasat dalam mimpi bahwa ibunya mendatangi dirinya. Hal itu kemudian membuatnya menyesal karena telah meninggalkan keluarga.
Di sisi lain, Choirul menyadari bahwa ada banyak sekali ragam pendapat dalam agama. ”Saya belajar bahwa ada banyak ragam pendapat fikih (hukum Islam). Dahulu kita sering mencampuradukkan masalah fikih terhadap wilayah akidah (teologi), hingga sampai meninggalkan orang yang kita sayangi,” tuturnya.
Baca juga Ibroh dari Kisah Penyintas dalam Halaqah Alim Ulama
Terhitung sejak 2016, Choirul dipertemukan dengan para korban dan penyintas aksi terorisme oleh Aliansi Indonesia Damai (AIDA). Hal itu membuat dirinya semakin menyadari bahwa jalan kekerasan yang diyakininya dahulu berdampak besar. ”Kami dahulu tidak menyadari dampak paham yang kami anut. Setelah bertemu dengan korban, timbul rasa empati saya. Saya meminta maaf atas nama ikhwan-ikhwan (anggota kelompok teroris),” pungkasnya penuh kesungguhan.
Selain Choirul, AIDA juga menghadirkan penyintas bom Bali 2002, Hayati Eka Laksmi. Dia harus kehilangan sang suami tercinta akibat bom tersebut.
Namun berkat dorongan dari teman-teman dan keluarga, Eka mampu bangkit hingga tegak demi membesarkan anak-anaknya. Meskipun mendapatkan cobaan yang begitu berat, ia menyadari bahwa kehilangan itu tak boleh membuatnya lemah, harus bangkit dari keterpurukan. ”Saya harus siap menerima keadaan ini. Saya harus berdiri tegak dan bisa menyelamatkan keluarga,” tuturnya.

Kini bersama Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) yang menjadi wadah bagi para penyintas, Eka mendapatkan dorongan luar biasa. Ada ikatan luar biasa sesama penyintas yang saling menguatkan dan menyuarakan perdamaian di tengah masyarakat. ”Cukup kami saja yang menjadi korban, jangan ada lagi korban seperti kami. Kami bersama-sama bersuara menyiarkan perdamaian. Tidak perlu ketidakadilan dibalas dengan ketidakadilan,” pungkasnya yang disambut dengan tepuk tangan para peserta.
Setelah mendengar kisah mantan pelaku dan penyintas, salah seorang peserta mengatakan bahwa kegiatan pelatihan yang diinisiasi oleh AIDA ini begitu penting. ”Saya sangat tersentuh ketika mendengar kisah pertaubatan Choirul Ikhwan. Ada ikatan batin luar biasa yang menghubungkan dirinya dengan ibu. Saya merasakan empati juga kepada para korban. Kegiatan ini penting disosialisasikan kepada masyarakat secara umum,” ujar peserta dari anggota Muslimat NU Sukoharjo tersebut. [FS]
Baca juga Kunci Perdamaian Adalah Persaudaraan
4 Comments