Alim Ulama Sukoharjo Ajak Masyarakat Cintai Perdamaian
Aliansi Indonesia Damai – Sejumlah alim ulama di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah mengajak masyarakat untuk mencintai perdamaian dan menjaga kerukunan antar sesama. Semangat kedamaian diharapkan bisa dibumikan ke komunitas masyarakat terkecil.
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikmah Sukoharjo Kiai Miftahul Huda mengatakan, perdamaian adalah fitrah bagi manusia. Setiap manusia membutuhkan ketenangan dan kenyamanan ketika tengah berada di antara sesama. ”Manusia mesti senang perdamaian. Karena perdamaian adalah fitrah kita semua,” ungkapnya dalam acara Diskusi dan Bedah film ‘Tangguh’ yang digelar di Aula Kantor Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Sabtu (23/11) lalu.
Baca juga Mendengar Pertaubatan Mantan Pelaku Terorisme, Tokoh Agama Tersentuh
Selain Kiai Miftah, hadir pula sejumlah tokoh agama, antara lain Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anisiyah Sukoharjo Kiai Moh. Najib, Wakil Ketua PCNU Kabupaten Sukoharjo Ustad Sofwan Faisal dan sejumlah peserta yang terdiri dari pimpinan pondok pesantren, tokoh masyarakat, ustad dan kalangan santri. Acara ini merupakan lanjutan dari Pelatihan Pembangunan Perdamaian di Kalangan Tokoh Agama yang digelar AIDA di Surakarta (30-31/10) lalu.
Kiai Moh. Najib menjelaskan, makna jihad bagi seorang pemuda dan pelajar adalah menimba ilmu dengan bersungguh-sungguh. Menurutnya, jihad bukanlah perbuatan yang merusak, apalagi dengan cara pengeboman. Jihad adalah jalan luhur untuk membumikan nilai-nilai ajaran agama yang benar. ”Jihad itu adalah memperdalam ilmu, menghafal Alquran, menghafal kitab Alfiyah, belajar balaghah, nahwu, sharaf. Ini makna mujahid, belajar agama secara bersungguh-sungguh,” katanya.
Baca juga Ikhtiar Tokoh Agama Wujudkan Perdamaian Indonesia
Wakil Rais Syuriah PCNU Sukoharjo itu menambahkan, ilmu harus bermanfaat bagi orang lain dan bukan untuk digunakan untuk diri sendiri. ”Setelah kita mendapatkan ilmu, kita sampaikan kepada orang lain. Inilah yang namanya mujahid. Ilmu bila tidak diamalkan, maka tidak akan berkembang ilmu itu. Khoirunnas anfa’uhum linnas, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama manusia,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Ustad Sofwan Faisal mengingatkan para peserta agar tidak terjebak pada stereotipe dan stigma. Menurutnya, terorisme tidak identik dengan simbol-simbol tertentu, seperti cara berpakaian seseorang. ”Ciri-ciri terorisme bukanlah orang-orang yang memakai cadar atau berjenggot,” ungkap Wakil Ketua PCNU, Sukoharjo itu.

Ia berharap agar tidak ada lagi tindakan terorisme di Indonesia, terutama di wilayah kota Solo dan sekitarnya. Sehingga tidak ada lagi korban-korban ledakan bom yang mengalami luka, derita, bahkan merenggut nyawa. ”Harapan kita tidak ada lagi bom bunuh diri, tidak ada lagi penembakan, tidak ada lagi penyerangan, tidak ada lagi terorisme di wilayah kita, sehingga tidak ada lagi ada korban dari aksi terorisme,” tandasnya.
Salah seorang peserta mengaku dapat mengambil pembelajaran penting dari nilai-nilai dan pesan-pesan dalam film ’Tangguh’. Kisah pertaubatan mantan pelaku terorisme membuatnya sadar bahwa ada begitu banyak penyesalan akibat perbuatan yang bersifat perusakan. Ia juga berharap kisah pertaubatan pelaku kekerasan bisa menjadi narasi yang disampaikan ke publik. Sebab selama ini yang ditampilkan hanyalah penangkapan-penangkapan teroris semata. ”Kisah pertaubatan mantan pelaku terorisme sangat bagus. Ini penting untuk pesan-pesan perdamaian. Dan masyarakat harus tahu,” pungkasnya. [AH]
Baca juga Ibroh dari Kisah Penyintas dalam Halaqah Alim Ulama
2 Comments