Ketangguhan Ayah Korban: Menulis Buku Bersama Ayah Pelaku (Bag. 3-Terakhir)

Pengantar: Artikel berseri ini bercerita tentang ayah korban teror Paris 2015. Usai berhasil mengatasi kesedihannya, ia mendirikan wadah penyintas teror dan kemudian malah bekerja sama dengan ayah pelaku teror untuk membangun perdamaian. Redaksi menerjemahkan dan menyarikannya dari pelbagai sumber daring.

Hasil olah pena Georges Salines dan Azdyne Amimour diterbitkan dalam buku bertajuk Il nous reste les mots: une leçon de tolérance et de resilience” (Kita Masih Memiliki Kata: Sebuah Pelajaran tentang Toleransi dan Ketangguhan), pada Januari 2020. Melalui buku setebal 207 halaman itu, keduanya berharap dapat melawan gejolak ekstremisme yang terus meningkat.

Baca juga Ketangguhan Ayah Korban: Ingin Melawan Terorisme (Bag. 1)

Pada akhir bab, kedua sosok ayah tersebut menuliskan surat kepada masing-masing anak yang telah tiada. Azdyne memohon pengampunan kepada Lola ribuan kali dan menyalahkan ideologi ekstrem atas tragedi tersebut. Ia bahkan menanyakan kepada dirinya sendiri, “Apakah aku telah gagal menjalankan peranku sebagai ayah?”

Namun Georges dengan tangguh dan lapang dada mengatakan bahwa Azdyne tidak harus meminta maaf karena, “Ia (Azdyne) tidak memiliki keharusan untuk meminta maaf dan tidak harus bertanggung jawab atas hal buruk yang dilakukan putranya.”

Baca juga Ketangguhan Ayah Korban: Berkenalan dengan Ayah Pelaku (Bag. 2)

Dalam pengakuannya kepada Associated Press yang diberitakan oleh Business Insider pada 24/01/2020, Georges menaruh harapan besar dengan terbitnya buku itu. “Saya menyadari bahwa itu adalah proyek yang belum pernah dilakukan dan dialog semacam ini akan membawa dampak. Ini akan membawa reaksi dari pembaca, dan lebih dari itu dari masyarakat. Ini akan menimbulkan pertanyaan, tentang tanggung jawab individu, tanggung jawab kolektif, siapa musuh kita dan sekutu kita. Bagi saya itu sangat penting,” ujarnya.

Buku tersebut sekaligus menjadi bukti bahwa kisah mereka mampu memberikan refleksi damai tentang radikalisasi, pendidikan dan juga duka. Sebagaimana tertulis dalam buku tersebut, “Karena jika ada kata-kata yang tersisa, ada juga harapan.”

Baca juga Korban Terorisme: Kisah yang Tak Terdengar (Bagian I)

Masing-masing dari mereka juga menuliskan sedikit pengantar pada sampul belakang buku. “Dialog yang tak terduga dengan seorang lelaki muslim yang toleran, namun ayah dari seorang pelaku jihad (teror: red), merupakan kesempatan luar biasa untuk menunjukkan bahwa kita bisa berbicara. Jika pertukaran semacam itu terjadi di antara kita, maka kita bisa menghancurkan tembok-tembok ketidakpercayaan, ketidakpahaman, dan kadang-kadang kebencian yang memecah belah masyarakat kita,” tulis Georges.

“Hari ini, di atas semua itu adalah kisah kepercayaan dan persahabatan yang menyatukan kita. Kita telah belajar untuk menghargai diri kita sendiri, untuk memahami bersama, dan mencegah. Kita telah kembali ke masa lalu, menjalin benang kehidupan kita dan dari anak-anak kita. Sehingga kengerian seperti itu tidak pernah terulang lagi,” Azdyne menambahkan.

Sumber 1 Klik Disini

Sumber 2 Klik Disini

Baca juga Korban Terorisme: Kisah yang Tak Terdengar (Bagian II-Terakhir)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *