Membalas Kebencian dengan Kasih (Bag. 1)
Aliansi Indonesia Damai – Ibadat Misa Pagi di Gereja St Lidwina Bedog, Sleman, Yogyakarta, baru berjalan sekitar 10 menit. Budijono bersama anaknya yang masih balita sedang berada di teras gereja. Tanpa dinyana, orang tak dikenal mengayunkan pedang ke arahnya secara membabi-buta. Tak sempat menghindar, Budijono terjerembab ke lantai.
Sebelumnya, ia sempat bertatap muka dengan pelaku yang berjalan santai dari sisi barat ke timur. Tak terlihat membawa apa pun. Ia memerkirakan jaraknya dengan pelaku penyerangan 3-5 meter. Beberapa detik berikutnya, pelaku melepaskan jaket dan mengeluarkan pedang yang tersimpan dari balik lengan jaketnya. Spontan Budijono membalikkan badan.
Baca juga Penyintas Bom Thamrin Melawan Trauma (Bag. 1)
“Jadi langsung membacok kepala dan leher saya. Kejadiannya sangat cepat. Saat itu juga saya langsung pingsan, jatuh di halaman,” ujar Budijono mengingat musibah yang menimpanya pada 11 Februari 2018.
Sesaat setelah kejadian, Budijono merasa dirinya seolah telah meninggal. Arwahnya seolah telah terlepas hingga ia bisa melihat jasadnya sendiri yang tergeletak berlumuran darah. Namun ia kemudian teringat anaknya yang masih berusia 2 tahun. Dalam kondisi setengah sadar, rasa khawatir akan nasib sang anak langsung menyergapnya pikirannya.
Baca juga Penyintas Bom Thamrin Melawan Trauma (Bag. 2-Terakhir)
Kekhawatiran yang justru memberinya energi untuk lekas siuman dari pingsannya. Ia kemudian bahkan mampu berlari menggendong sang anak masuk ke dalam gereja, meski sempoyongan dan darah terus mengalir ke lantai. “Mungkin ini mukjizat atau apa. Saya gak tahu kekuatan apa yang menggerakkan saya,” ujarnya.
Budijono lantas berlari ke halaman parkir dan meminta tolong kepada seseorang untuk diantarkan ke fasilitas kesehatan terdekat. Ia turun dari kendaraan yang membawanya dan berlari ke ruang instalasi gawat darurat (IGD). Dari pemeriksaan awal, ternyata kulit kepala terkelupas dari tengkoraknya. Sementara di lehernya ada luka menganga sekitar 15 sentimeter. Petugas medis membersihkan dan membalut lukanya sebagai pertolongan pertama.
Baca juga Kebangkitan dan Ikhtiar Memaafkan
Karena keterbatasan peralatan, pihak Faskes merujuknya ke rumah sakit milik Universitas Gadjah Mada. “Dalam perjalanan, saya hanya berdoa, jangan sampai saya meninggal di lokasi ini. Jangan sampai saya meninggal karena kejadian ini. Saya harus kuat,” katanya.
Dari hasil pemeriksaan lanjutan di RS UGM, ternyata cedera Budijono nyaris fatal. Luka di leher Budijono hampir saja mengenai saraf utama yang sangat membahayakan nyawanya. Beruntung bacokan pedang di kepalanya tidak melukai tengkoraknya, namun kulit dan jaringan arterinya sobek sehingga darah terus mengucur.
Budijono merupakan satu dari lima korban akibat serangan teror yang terjadi di Gereja St. Lidwina tiga tahun silam. AIDA menghadirkannya dalam kegiatan Pelatihan Pembangunan Perdamaian di Kalangan Mahasiswa yang digelar secara daring pada pertengahan Maret lalu. (Bersambung)