Korban Terorisme: Kisah yang Tak Terdengar (Bagian I)
Aksi bom terorisme tak hanya meluluhlantakkan gedung dan lanskap di lokasi kejadian, melainkan juga mengenai siapa pun yang berada di dekatnya. Rentetan kasus bom terorisme di Indonesia telah menelan ratusan nyawa manusia tak bersalah dan mencederai ratusan atau mungkin ribuan orang lainnya, baik secara fisik maupun psikis.
Sebagai misal, menurut data dari sejumlah media massa, Bom Bali 2002 menewaskan 202 jiwa, Bom Hotel JW Marriott Jakarta tahun 2003 dan 2009 masing-masing menewaskan 12 dan 9 jiwa, dan ledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia Jakarta (2004) menelan korban jiwa 12 orang. Masih banyak korban yang timbul akibat aksi-aksi tak berperikemanusiaan itu di pelbagai wilayah di Indonesia.
Baca juga Membangun Budaya Damai dari Rumah
Hampir bisa dipastikan, semua orang yang menjadi korban tidak pernah mengenal atau memiliki persoalan dengan para pelaku atau kelompoknya. Tidak ada kaitan apa pun di antara kedua pihak. Saat kejadian sebagian korban sedang menjalankan tugas di tempat kerjanya, ada yang bertemu kolega sambil menyantap makanan, bahkan ada pula yang sekadar melintas di dekat lokasi ledakan.
Sayangnya kisah korban dan keluarganya dalam melewati masa-masa sulit hingga mereka bisa bangkit kembali dari keterpurukan tidak banyak diketahui publik. Tak banyak orang yang tahu penderitaan korban, bagaimana mereka menjalani perawatan medis berkepanjangan hingga pembiayaannya, dampak psikis dan trauma bagi diri atau keluarganya, dan sederet kisah pilu dan perjuangan mereka hingga kini. Bahkan pemerintah pun sempat “tak cukup mendengar” nasib mereka.
Baca juga Mewarnai yang Muda
Selama ini ketika ada aksi teror, informasi yang sering disampaikan ke publik sekadar jumlah orang yang terkena dampaknya, baik yang meninggal dunia maupun luka-luka, lalu menjalani perawatan medis di rumah sakit apa. Tak banyak informasi lain yang dialami korban diungkap dan disampaikan kepada masyarakat. Bahkan setelah beberapa waktu, para korban cenderung “ditinggalkan” dan tak diketahui lagi nasibnya.
“Dari perkenalan itu ternyata ada banyak cerita mereka yang tidak pernah didengar dan tersampaikan ke publik.”
Saya termasuk salah seorang yang beruntung memiliki kesempatan mengenal sejumlah penyintas bom terorisme di Bali dan Jakarta. Bahkan diberikan kesempatan untuk berinteraksi dan sedikit lebih dalam mengenal kehidupan mereka. Dari perkenalan itu ternyata ada banyak cerita mereka yang tidak pernah didengar dan tersampaikan ke publik.
Baca juga Meneladani Kesabaran Ramdhani
Misalnya dalam kasus Bom Bali 2002, ada sejumlah istri yang kehilangan suami sekaligus tulang punggung keluarganya. Mereka terpaksa menjadi single parent yang menjalankan tugas ibu sekaligus ayah dalam waktu bersamaan untuk buah hatinya. Begitu pun dengan beberapa suami yang kehilangan istrinya. Mereka harus menjadi ayah sekaligus ibu buat anak-anaknya.
Perjuangan mereka dalam mengasuh dan mendidik buah hatinya sejak kecil hingga dewasa seorang diri tentu bukan hal gampang, melainkan penuh lika-liku. Sebagian ada yang menjahit, berjualan makanan, bahkan ada yang rela bekerja apa pun asalkan halal dan bisa mendapatkan penghasilan demi bisa menafkahi keluarganya. (bersambung)
Baca juga Jihad dan Budaya Dialog