15/02/2021

Perdamaian dari Akar Rumput

Oleh Wiwit Tri Rahayu
Sarjana Hubungan Internasional Universitas Airlangga

Sederhananya damai diartikan sebagai kondisi ketiadaan perang, kekerasan, atau ancaman. Damai yang sesungguhnya akan memberikan rasa aman baik secara fisik maupun pikiran. Kondisi seperti ini jelas diharapkan untuk terus bertahan. Memertahankan atau bahkan membangun perdamaian dapat dilakukan dari tingkatan elemen paling dasar, yaitu akar rumput (grassroots).

Dalam pembangunan perdamaian akar rumput (grassroots peacebuilding), gerakan dilakukan secara kolektif dari komunitas masyarakat tingkat bawah untuk disalurkan ke level yang lebih atas. Konsep ini menyiratkan bahwa perdamaian dirancang, dikelola, dan dilaksanakan oleh aktor lokal atau mereka yang terdampak, sehingga penerima manfaat turut menjadi subjek penggerak, alih-alih hanya menjadi objek.

Baca juga Keniscayaan Perdamaian

Konsep perdamaian akar rumput menjadi efektif karena substansi gerakan ini sarat akan pengetahuan dan tradisi lokal kelompok itu sendiri. Tak pelak lebih mudah untuk diterima dan diterapkan. Selain itu keterwakilan lokal akan membentuk produk yang lebih inklusif dan berkelanjutan dalam membangun perdamaian jika dibanding dengan konsep dari luar.

Eric Meinema (2012) dalam penelitiannya yang berjudul Provoking Peace: Grassroots Peacebuilding by Ambonese Youth menulis bahwa kebanyakan teori tentang pembangunan perdamaian lebih berfokus pada aktor makro seperti pemerintah, institusi sosial, ataupun lembaga-lembaga internasional.

Dari hasil wawancara dengan salah seorang pemuda korban konflik di Ambon, Eric mengemukakan bahwa konflik berlangsung cukup lama karena proses pembangunan perdamaian dilakukan dengan tanpa melibatkan orang-orang lokal dari akar rumput. Konflik berhenti justru karena upaya masyarakat sendiri dan bukan karena Perjanjian Malino II yang diupayakan sebagai resolusi konflik.

Baca juga Arif Menyikapi Bencana

Dari penelitian ini, kita dapat melihat bahwa grassroots peacebuilding memiliki peluang keberhasilan yang lebih tinggi karena adanya kesesuaian antara strategi dengan persepsi masyarakat terhadap damai itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa konsep damai sesungguhnya berkaitan langsung pada kondisi akar rumput, seperti hilangnya rasa takut dan praduga, serta kenyamanan hidup berdampingan di tengah pelbagai perbedaan.

Pembangunan perdamaian di tingkat akar rumput juga dilakukan oleh para korban Bom Bali 2002 dan 2005 dengan membentuk Yayasan Isana Dewata. Wadah ini dibentuk dengan tujuan agar para korban tidak merasa sendirian dan dapat bersama-sama menghadapi perasaan trauma ataupun sakit akibat peristiwa bom. Kesamaan ini tidak dikumpulkan untuk menciptakan dendam kolektif, melainkan membentuk visi untuk menyiarkan perdamaian dan menyuarakan cinta kasih kepada seluruh masyarakat.

Baca juga Mendakwahkan Akhlak

Para korban menyadari bahwa menyimpan dendam justru berbahaya, karena dendam yang diturunkan akan menimbulkan konflik baru di masa depan. Banyak dari korban yang terhimpun dalam wadah tersebut memilih untuk turut aktif dalam menyuarakan perdamaian bersama AIDA, baik di sekolah, kampus, tenaga pendidik, jurnalis, hingga tokoh agama.

Melalui kisah dan pengalaman para korban atas dampak destruktif yang dirasakan, masyarakat mampu melakukan refleksi untuk tidak bergabung dengan kelompok ekstremisme. Dalam sebuah acara bersama dengan AIDA, Hayati Eka Laksmi, salah seorang pengurus Isana Dewata pernah berpesan:

“Kami memaafkan apa yang mereka lakukan supaya jangan melakukannya lagi dan menyuarakan perdamaian, tidak membalasnya dengan kekerasan. Bukan hal yang mudah untuk memaafkan. Bagaimana mungkin kita tidak punya rasa marah dan dendam? Tapi kita tidak melakukan hal seperti itu, karena kami merasakan cukup kami (saja) merasakan betapa sakitnya itu, jangan orang lain.”

Baca juga Berjihad Mesti dengan Ilmu

Dalam kasus mantan pelaku terorisme, upaya serupa juga dilakukan oleh Ali Fauzi dengan mendirikan Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP) di Lamongan. Pembentukan YLP berangkat dari pengalaman Ali bahwa banyak dari eks-narapidana terorisme (napiter) yang cenderung memilih untuk kembali ke jaringan ekstremisme karena beberapa faktor; seperti dikucilkan oleh masyarakat; karena memiliki pandangan agama yang berbeda, sehingga kemudian berdampak pada sulitnya mencari pekerjaan.

Menyadari hal tersebut, salah satu upaya menjaga perdamaian dilakukan YLP dengan mengunjungi para napiter di lembaga pemasyarakatan untuk mengajak mereka berdialog bersama sebagai upaya disengagement (melepaskan mereka dari kelompok ekstremisme). Menurut Ali, jika eks-napiter masih bergabung dengan kelompok ekstremis yang memiliki pemikiran destruktif, maka perdamaian dan kesatuan NKRI masih akan terus terancam.

Baca juga Kerendahan Hati Membangun Perdamaian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *