Arif Menyikapi Bencana
Oleh Wiwit Tri Rahayu
Alumni Ponpes Ar-Risalah Lirboyo Kediri
Indonesia sedang berduka. Banyak musibah melanda, mulai dari bencana alam, kecelakaan, hingga kehilangan para ulama. Tidak sedikit dari masyarakat yang kemudian merasa takut, seolah kisah kematian secara tiba-tiba mengelilingi mereka. Padahal kematian menjadi satu dari sekian kepastian yang telah menanti kita, sebagaimana dikatakan bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. Bahkan, semua pemeluk agama tahu bahwa puncak dari kehidupan adalah kembalinya manusia kepada Tuhannya.
Pembahasan tentang kematian tidak akan terlepas dari pembahasan takdir, karena memang segala peristiwa di dunia adalah bagian dari takdir yang tidak bisa dihindari, termasuk bencana hingga kematian. Kematian merupakan satu di antara takdir yang telah ditetapkan Allah SWT sejak di alam azali, sehingga tidak bisa dihindari ataupun diubah dengan usaha dan keinginan yang kuat sekalipun.
Baca juga Mendakwahkan Akhlak
Banyak dari kita yang lupa bahwa keinginan dan usaha manusia tidak akan berarti apa pun jika disandingkan dengan keinginan Allah SWT. Ibnu Athaillah As Sakandary menyatakan dalam Kitab Al Hikam.
سوابق الهمم لا تخرق أسوار الأقدار
“Tekad yang kuat tidak akan mampu merobek ketentuan-ketentuan takdir.”
Begitu pula dengan bencana atau musibah, akan selalu terjadi sesuai dengan ketetapan Allah SWT. Alih-alih mencegah hal yang tidak bisa dicegah, kita sebagai manusia perlu memerhatikan sikap kita ketika menghadapi kedua hal tersebut.
Baca juga Berjihad Mesti dengan Ilmu
Seringkali pertanyaan muncul di benak kita, apakah suatu bencana masuk ke dalam kategori ujian atau justru azab. Padahal kategori tersebut justru sangat bergantung pada bagaimana kita menyikapinya. Karena sesungguhnya Allah SWT berada pada pikiran hamba-Nya. Hal ini selaras dengan apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah SAW dan diceritakan oleh Anas ibn Malik.
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
“Sesungguhnya pahala yang besar didapatkan melalui cobaan yang besar pula. Apabila Allah mencintai seseorang, maka Allah akan memberikan cobaan kepadanya. Barangsiapa yang ridha, maka Allah akan meridhainya. Dan barangsiapa yang murka (tidak menerima), maka Allah akan murka kepadanya.” (HR Tirmidzi)
Baca juga Kerendahan Hati Membangun Perdamaian
Meskipun bencana dan musibah adalah takdir, tidak bisa diartikan bahwa manusia hanya perlu bersifat pasif tanpa melakukan usaha apapun, alias belum apa-apa sudah berdalih ingin berpasrah diri atau bertawakal.
Keterkaitan antara takdir dan sikap tawakal sejatinya mengharuskan kita untuk bisa memaknai secara penuh konsep tawakal dalam menghadapi suatu musibah. Karena bentuk tawakal yang sesungguhnya adalah usaha yang diiringi dengan sikap menyerahkan keputusan akhir secara penuh kepada Allah SWT.
Kita dapat belajar dari kisah populer tentang Rasulullah SAW yang menegur seorang sahabat karena bertawakal tanpa melakukan usaha. Sahabat tersebut menuju ke masjid untuk menemui Rasulullah SAW dan melepaskan unta tunggangannya begitu saja dan tidak mengikatnya.
Baca juga Keutamaan Bersikap Kaya
Ketika Rasulullah SAW bertanya kenapa ia tidak mengikat unta tersebut, ia menjawab bahwa ia melepaskan unta karena percaya atas perlindungan Allah SWT. Rasulullah SAW kemudian menegur sahabat tersebut dan berkata, ”Ikatlah unta itu, kemudian barulah kamu bertawakal.”
Dalam hadist yang lain, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa terdapat amal yang dengan izin Allah SWT dapat menghindarkan manusia dari bala, yaitu sedekah. Beliau mengatakan bahwa bala bencana tidak pernah mendahului sedekah. Selain itu, sedekah juga dapat menjadi naungan bagi seorang mukmin dari bencana di hari kiamat nantinya.
“Bersegeralah bersedekah, sebab bala bencana tidak pernah bisa mendahului sedekah. Belilah semua kesulitanmu dengan sedekah. Obatilah penyakitmu dengan sedekah. Sedekah itu sesuatu yang ajaib. Sedekah menolak 70 macam bala dan bencana, dan yang paling ringan adalah penyakit kusta dan lepra.” (HR Thabrani)
Baca juga Keistimewaan Musibah