Korban Terorisme: Kisah yang Tak Terdengar (Bagian II-Terakhir)
Kehilangan orang terkasih tak hanya dirasakan oleh sebagian korban Bom Bali 2002, namun juga sejumlah korban serangan-serangan teror lain di Indonesia, antara lain korban Bom Marriott 2003 dan Bom Kuningan 2004. Ada salah seorang anggota keluarga korban Bom Marriott yang tidak bisa menerima kematian adiknya. Ia menganggap sang adik masih hidup dan sedang bertugas di tempat kerjanya.
Ia tak percaya bahwa sang adik yang menjadi tulang punggung keluarga telah pergi untuk selamanya. Sementara ada salah seorang adik korban Bom Kuningan harus memupuskan asanya melanjutkan kuliah di perguruan tinggi. Pasalnya sang kakak yang berencana membiayai pendidikannya meninggal dunia.
Baca juga Korban Terorisme: Kisah yang Tak Terdengar (Bagian I)
Kisah lain yang tak terdengar adalah tentang para korban bom yang mengalami luka-luka, baik ringan maupun berat. Luka yang dialami korban bom berbeda dengan cedera akibat kecelakaan umumnya. Kebanyakan luka dan derita korban bom berlangsung seumur hidup. Misalnya seseorang yang mengalami luka bakar, maka tubuhnya tidak akan pernah kembali mulus seperti sedia kala meski menjalani operasi berkali-kali. Lebih dari itu ia harus menjaga kondisi tubuhnya. Sebab kulit bekas operasi rawan gatal saat ia didera kelelahan fisik.
Begitu juga korban yang kehilangan sebagian organ tubuhnya. Kendati telah menjalani operasi transplantasi, tetap saja fungsi organ tubuhnya merosot drastis. Korban yang matanya tertancap serpihan bom pun demikian. Dalam kasus Bom Bali 2002 maupun Bom Kuningan 2004, ada beberapa korban yang bola matanya cedera akibat serpihan bom. Meski telah menjalani perawatan medis intensif dan operasi berkali-kali hingga ke luar negeri, namun mata mereka tak bisa diselamatkan alias buta permanen. Kecacatan fisik dan keterbatasan fungsi sebagian organ tubuh terus berlangsung hingga hari ini.
Baca juga Determinasi Diri Penyintas Bom Kuningan
Tak cukup itu, sebagian korban bom yang mengalami cacat fisik dan keterbatasan fungsi organ tubuh harus rutin melakukan check up dan mengonsumsi obat-obatan dari dokter. Hal itu sebagai ikhtiar untuk mengurangi efek ledakan yang dideritanya. Korban cacat fisik dalam rentang waktu tertentu juga harus mengganti alat bantunya, misal bola mata palsu.
Cerita lain yang tak terdengar adalah kehilangan pekerjaan atau kesulitan ekonomi. Dalam kasus Bom Bali 2002 misalnya, para pegawai restoran yang menjadi target serangan harus kehilangan pekerjaan sekaligus pendapatan karena tempat kerjanya luluh lantak dan kemudian berhenti beroperasi. Sementara para korban yang mengalami cedera harus berhenti bekerja sementara waktu dan kehilangan pemasukan selama berbulan-bulan. Hal itu tentu mengoyak perekonomian keluarganya.
Selain sisi penderitaan, cerita lain yang tak terdengar dari para korban bom adalah tentang kebangkitan dan ketangguhan mereka hingga bersedia berekonsiliasi dengan mantan pelaku. Tak banyak yang tahu bahwa para korban telah mengalami keterpurukan selama belasan tahun untuk melanjutkan hidupnya.
Baca juga Membangun Budaya Damai dari Rumah
Selangkah demi selangkah mereka meniti kehidupan dengan penuh lika-liku dan derita. Setelah sukses melampaui ujian kehidupan, kini mereka bangkit dan tersenyum lagi. Bahkan dengan kebesaran hatinya, sebagian korban memaafkan pelaku yang terlibat langsung dalam aksi, ataupun yang pernah berada satu barisan dengan orang-orang yang telah merenggut nyawa atau sebagian anggota tubuhnya. Mereka berlapang dada, tidak mendendam pada pelaku/mantan pelaku terorisme. Justru mereka menjalin persaudaraan untuk bergandengan tangan mengampanyekan perdamaian kepada khalayak luas.
Kisah-kisah tak terdengar di atas bisa menjadi inspirasi bagi kita. Bahwa perdamaian sangat penting. Aksi-aksi kekerasan dalam bentuk apa pun dan atas nama apa pun harus dihindari. Pasalnya, manakala kita melakukan kekerasan kepada orang lain, maka bisa saja cerita yang dialami para korban bom akan berulang, bahkan pada diri kita sendiri.
Baca juga Mewarnai yang Muda