Kisah Ketangguhan di Hadapan Tokoh Agama Bima
Aliansi Indonesia Damai- Dalam beberapa tahun terakhir, AIDA menggelar pelatihan pembangunan perdamaian di kalangan tokoh agama di sejumlah daerah. Salah satu daerah yang dikunjungi adalah Bima, Nusa Tenggara Barat. AIDA menghadirkan narasumber yang terdiri dari mantan pelaku terorisme, Ali Fauzi Manzi, dan korban tidak langsung Bom Bali 2005, Raden Supriyo Laksono. Para peserta berasal dari berbagai organisasi masyarakat muslim, ustadz, dan guru agama se-NTB.
Dalam kesempatan itu, Ali Fauzi mengisahkan jalan hidup yang penuh lika-liku sampai terlibat dalam jaringan kekerasan. Ia bahkan pernah menjadi instruktur kemiliteran Jamaah Islamiyah (JI). Lingkungan pertemanan dan keluarga menjadi faktor dominan yang membuatnya terlibat dengan kelompok kekerasan. Ali mengalami perubahan melalui proses panjang.
Baca juga Gema Perdamaian dari SMK Sunan Ampel Malang
Beberapa faktor yang mendorongnya berubah menjadi duta damai adalah dukungan dari pelbagai pihak, mulai dari kepolisian hingga masyarakat, yang membantunya meninggalkan kelompok kekerasan. Ia mengaku bersyukur karena masyarakat bisa menerimanya hidup kembali dalam lingkungan sosial. Ia pun menyadari apa yang dilalui oleh kelompoknya dahulu adalah kesalahan.
Tidak hanya itu, Ali juga mendorong mantan pelaku kekerasan lainnya untuk menjadi duta perdamaian bagi masyarakat luas. “Saya sadar bahwa harus ada orang-orang yang menyuarakan perdamaian dan bahayanya aksi kekerasan itu. Tidak ada orang baik yang tidak punya masa lalu dan tidak ada orang jahat yang tidak punya masa depan,” ungkap pendiri Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP) tersebut.
Baca juga Pelajar Klaten Belajar dari Mantan Pelaku Terorisme
Dalam kesempatan yang sama, Supriyo Laksono atau akrab disapa Pak Soni, bercerita tentang pengalaman pahitnya harus kehilangan istri tercinta yang meninggal dunia akibat peristiwa Bom Bali 2002. Berkat dorongan keluarga dan pertimbangan untuk membesarkan kedua anaknya, Sony memilih bangkit dari keterpurukan.
Ia menjadi ayah sekaligus ‘ibu’ bagi kedua anaknya. “Awalnya saya sempat marah. Namun untuk apa mendendam kepada para pelaku teroris. Saya lebih memilih untuk memaafkan dan berdamai dengan diri sendiri,” jelas Sony di hadapan para peserta.
Baca juga Menitipkan Perdamaian pada Generasi Muda Poso
Sony bersyukur mendapat dorongan dari berbagai pihak, mulai dari keluarga, tetangga dan pemerintah untuk bangkit dari trauma. Yang paling membuatnya semangat untuk bangkit adalah anak-anaknya. “Berkat anak-anak, saya memulai kehidupan baru, saya tidak akan kalah,” ujarnya.
Salah seorang mengaku terinspirasi dari ketangguhan korban. “Meskipun saya tidak merasakan langsung akibat bom, namun saya sempat merasakan sakit pshyzcropenia. Mendengar kisah kebangkitan (korban), hal itu menginspirasi saya untuk tetap tidak menyerah. Terima kasih kepada para korban yang telah kuat untuk menceritakan kisahnya. Itu tentu tidak mudah,” kata salah seorang peserta perwakilan dari Gerakan Pemuda Anshor NU Bima. [FS]