Menyelesaikan Masalah: Belajar dari Mantan Pelaku Ekstremisme
Ekstremisme agama telah mengiringi sejarah perjalanan panjang Republik ini. Sejak era Darul Islam hingga Jamaah Ansharud Daulah. Kelompok ekstrem memainkan peran penting dalam pembentukan ideologi kekerasan.
Salah seorang yang pernah bergabung dengan kelompok kekerasan adalah Sumarno alias Asadullah. Laki-laki paruh baya ini dulu tidak memiliki niat untuk menempuh pendidikan di lembaga keagamaan. Ayah Sumarno ingin menyekolahkannya ke sekolah negeri dan kelak diharapkan menjadi seorang dokter.
Baca juga Mencari Titik-Titik Persamaan
Sedikit paksaan dari pihak keluarga ibunya yang notabene memiliki pandangan keagamaan rigid mengubah alur hidupnya. Paman-pamannya dari pihak ibu, seperti Amrozi, Ali Ghufron, Ali Imron, dan Ali Fauzi membujuknya agar masuk ke Pondok Pesantren Ngruki Sukoharjo. Walhasil masa muda Sumarno banyak dihabiskan untuk belajar agama. Naasnya Sumarno malah berjumpa dengan ideologi ekstrem yang mengarah kepada aksi kekerasan.
Ia menerima doktrin untuk memberantas kesyirikan dan berjuang menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Setelah lulus ia berbaiat kepada salah satu kelompok ekstrem dan belajar ilmu militer, tata cara merakit bom, sampai dengan teknik perang. Sumarno bertugas sebagai pemasok senjata dan pengiriman bahan baku untuk pembuatan bom. Karena peran itulah ia harus menjalani hukuman penjara selama beberapa tahun di Lapas Lamongan.
Baca juga Agama sebagai Pelopor Perdamaian
Titik balik pertobatannya berawal ketika ia mengunjungi pamannya, Ali Imron (terpidana seumur hidup kasus Bom Bali 2002) di penjara. Ia dinasehati untuk berhenti melakukan aksi-aksi kekerasan. “Saat itulah saya sadar bahwa dendam kepada siapa pun tidak akan selesai,” ucapnya dalam kegiatan AIDA beberapa waktu lalu.
Dendam yang terus dipupuk tidak akan menyelesaikan masalah. Pengalaman Sumarno berbanding lurus dengan pendapat Quinney (2000), yang mengatakan bahwa kekerasan tidak dapat diselesaikan dengan kekerasan.
Baca juga Perdamaian sebagai Fitrah
Untuk menghentikan kejahatan terorisme, Fuller menjelaskan enam kriteria yang bisa membentuk penyelesaian dalam konteks damai; non-kekerasan, keadilan sosial, inklusi, cara yang benar, kriteria yang tepat, dan imperatif kategoris (Ishoy, A Peacemaking Approach to Desistance from Crime. Critical Criminology, 2018).
Menghindari kekerasan dalam penyelesaian masalah merupakan ide utama dalam perdamaian. Penggunaan kekerasan membuat kelompok ekstrem semakin terdorong melakukan perlawanan terhadap aparat penegak hukum. Ketika Sumarno mendapatkan perlakuan baik dari penegak hukum ia terdorong menjadi individu yang ingin menebar kebaikan.
Baca juga Tradisi Dialog dan Perdamaian
Lalu keadilan sosial dalam penanganan terorisme ini sangat penting ditegakkan, agar tidak muncul stereotip atau label bahwa agama menjadi akar masalah terorisme di Indonesia. Inklusi juga dibutuhkan dalam hal proses peradilan pidana. Hal ini mengacu pada kebutuhan untuk memasukkan semua pihak yang terlibat dalam masalah ini, termasuk korban dan masyarakat.
Contohnya adalah mediasi antara korban dan mantan pelaku dengan memaparkan kisah mereka satu sama lain. Dari pengalaman tersebut muncul empati mantan pelaku terhadap individu yang terkena dampak dari terorisme. Saat dipertemukan dengan korban terorisme, Sumarno meminta maaf kepada seluruh korban yang terdampak dari aksi terorisme di Indonesia.
Baca juga Self-Healing untuk Penyembuhan Luka Batin
Kini Sumarno terlibat dalam kampanye-kampanye perdamaian. Bersama pamannya, Ali Fauzi, Sumarno mendirikan Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP), lembaga yang menghimpun orang-orang yang pernah terlibat dalam ekstremisme kekerasan. Melalui YLP, diharapkan banyak orang dapat menginsafi kesalahan ideologi kekerasan yang dianutnya.
Baca juga Membangun Ketahanan Keluarga: Belajar dari Bom Surabaya