Ledakan Bom Nyaris Mengubur Mimpi Korban
Aliansi Indonesia Damai- Peristiwa ledakan bom di depan kantor Kedutaan Besar Australia, Jakarta, tahun 2004, nyaris memupuskan mimpi-mimpi Sudirman Thalib. Merantau dari Bima Nusa Tenggara Barat ke ibu kota demi menggapai sekian banyak cita mulia, aksi terorisme malah merenggut salah satu matanya.
Mulanya ia tak habis pikir, mengapa ada orang yang tega melakukan perbuatan sekeji itu, bahkan menghilangkan nyawa beberapa rekan kerjanya di Kedubes Australia. Dia dan korban-korban lain tak mengerti pangkal persoalan mengapa pelaku melakukan pengeboman. “Sebagai korban tentu saja sangat marah, bertanya-tanya,” kata Sudirman dalam “Diskusi dan Bedah Buku La Tay’as: Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya” yang digelar AIDA, Selasa (13/7 2020).
Baca juga Ekstremis Tebar Ideologi Lewat Medsos
Kala itu usia Sudirman masih sangat muda, 22 tahun. Dua tahun sebelumnya, dari sebuah desa kecil di Kabupaten Bima, NTB ia menempuh perjalanan dengan bis umum menuju Jakarta. Niatnya luhur; membantu perekonomian keluarga. Sempat bekerja sebagai petugas keamanan salah satu pabrik di Serang Banten, awal tahun 2004, ia pindah kerja ke kantor Kedubes Australia menempati posisi yang sama.
Baru beberapa bulan bekerja, 9 September 2004 pagi, bom mobil meledak beberapa meter dari tempatnya berdiri. Lukanya sangat parah. Nyawa Sudirman hampir tak tertolong. Menurut penuturan rekan-rekannya, badannya sempat ditempeli tulisan “MR X” di rumah sakit, lantaran disangka telah meninggal dunia.
Baca juga Kekerasan Melangkahi Batas-batas Ilahi
“Allah menunjukkan kebesarannya. Begitu menyeramkan situasi saat itu. Saya hanya bisa pasrah, bahwa Allah yang menguasai hidup manusia,” terang Sudirman seraya menangis mengingat kejadian itu.
Kepasrahan membuat Sudirman cukup tenang. Dalam kondisi fisik yang kritis, Sudirman terus merapal surat-surat pendek Al-Quran yang dihafalnya. “Allah memberikan ketenangan yang luar biasa di batin dan jiwa saya walaupun semua darah bercucuran, tapi Allah memberikan ketenangan seakan-akan sakit tak terasa di tubuh saya,” ujarnya.
Baca juga Teroris Tak Dilihat dari Penampilan Fisik
Beberapa tahun setelah peristiwa itu, AIDA memertemukan Sudirman dengan mantan pelaku terorisme yang insaf. Perkenalan yang diikuti dengan perbincangan tulus serta kesediaan untuk saling berbagi dan mendengar kisah masing-masing, Sudirman perlahan memahami betapa pelaku terorisme juga “korban” ideologi kekerasan. “Terkadang tindakan kekerasan bukanlah keinginan mereka, tapi situasi memaksa mereka berbuat seperti itu,” tuturnya.
Semenjak itu Sudirman belajar untuk melupakan kesalahan orang lain di masa lalu. Ia mengaku tak menaruh benci, apalagi dendam terhadap pelakunya. Dengan cara itu, justru dia bisa kembali fokus menggapai cita-cita di tengah keterbatasan yang ada. “Saya belajar melepaskan kebencian, tidak membalas kekerasan dengan kekerasan,” katanya.
Baca juga Menyalakan Suluh Perdamaian Melalui Kisah Mantan Teroris dan Korbannya
Tak berhenti di situ, Sudirman dan mantan pelaku terorisme kini saling berkolaborasi berbagi kisah-kisahnya kepada khalayak luas. Niatnya untuk menyebarkan pesan-pesan perdamaian. Sudirman makin yakin, keterlibatan mantan pelaku dan korban dalam kampanye perdamaian menjadi penting. Sebab, pelaku adalah bukti nyata adanya terorisme itu sendiri, sementara korban adalah cerminan dampak buruk dari aksi-aksi kekerasan.
Berkat ketabahan dan tekad yang kuat, Sudirman berhasil menyelesaikan kuliahnya pada tahun 2011. Ia menganggap semua yang terjadi adalah bukti kebesaran Allah SWT. Satu hal yang selalu dia tekankan, “Jangan ada lagi tindakan terorisme di Indonesia. Jangan ada lagi pelaku dan korbannya.”[AH]