Membangun Perdamaian dengan Wasathiyah
Aliansi Indonesia Damai- Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, mengajak masyarakat untuk membangun perdamaian dengan prinsip-prinsip wasathiyah. Dalam pandangannya, ajaran Islam yang seimbang (wasatiyah) ibarat oase di tengah pemikiran dan tindakan ekstrem yang rawan menjerumuskan seseorang pada perbuatan kekerasan.
Di hadapan 149 alim ulama yang hadir dalam acara “Halaqah Alim Ulama: Menguatkan Ukhuwah Melalui Pendekatan Ibroh” yang digelar AIDA secara virtual, Kamis (24/9), Guru Besar Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu menyatakan, konsep wasatiyah dibangun atas lima konstruksi definisi.
Baca juga Imam Prasodjo: Gerakan Perdamaian Harus Dikuatkan
Pertama adalah pemahaman dan sebuah cita-cita ideal bahwa wasathiyah yang bermakna pertengahan merupakan pilihan terbaik. “Jadi kalau kita ikuti beberapa penjelasan dalam tafsir, wasatha itu artinya khoir, yang oleh Qurthubi (ahli tafsir: red) dijelaskan bahwa ia berarti sesuatu yang sangat indah, observable, empirical, seperti halnya oase di tengah gurun,” ucap Mu’ti.
Wasathiyah dalam konsep ajaran Islam mengajarkan keseimbangan yang mencakup segala hal, mulai dari keseimbangan antara dunia dan akhirat, keseimbangan antara material dan spiritual, keseimbangan antara kebutuhan pribadi dan sosial, bahkan keseimbangan dalam substansi ajaran Islam. Mu’ti secara sederhana mencontohkan bagaimana umat diwajibkan beribadah di satu sisi, tetapi juga diminta bekerja di sisi yang lain.
Baca juga Belajar dari Bom Surabaya 2018
Dalam pengertian yang ketiga, wasathiyah berkaitan dengan sikap dan perilaku kaum muslimin, baik yang berhubungan dengan pengamalan ritual agama maupun dalam hal interaksi dengan masyarakat luas. Islam mencakup segala aspek kehidupan tetapi tidak menuntut manusia untuk mengamalkannya secara ekstrem, melainkan sesuai dengan porsinya.
Wasathiyah yang keempat, menurut Mu’ti, bermakna berpacu menjadi umat yang adil. Adil bisa berupa adil dalam ilmu dan adil dalam berhukum. Ia mencontohkan, adil dalam ilmu seperti para ulama, yang dengan keilmuannya memberikan kesejukan dan tuntunan bagi jamaahnya. Sementara adil dalam hukum berarti orang harus senantiasa berlaku objektif dan menegakkan aturan sebagaimana mestinya.
Baca juga Rektor UIN Surabaya Minta Mahasiswa Sebarkan Perdamaian
Makna wasathiyah yang kelima yaitu tidak berperilaku eksklusif, atau dengan kata lain, mau berbagi dan berbaur dengan orang lain. Prinsip wasathiyah senantiasa mengajarkan untuk menyelesaikan permasalahan dengan mencari jalan tengah, mewujudkan kondisi win-win solution agar tidak ada pihak yang dirugikan.
Dalam hematnya, adalah sunnatullah bahwa setiap orang atau kelompok memiliki pandangan yang berbeda. Namun yang lebih penting adalah menemukan titik kesamaannya. “Jadi memang ada sisi di mana kita berbeda, ada sisi di mana kita sama. Tetapi ketika sudah berada di ruang publik, kita harus sharing dengan yang lain. Kita harus menjadikan ruang publik milik bersama, dan kita kelola bersama,” katanya.
Karena itulah Mu’ti meyakini bahwa konsep wasathiyah dapat menghadirkan perdamaian di tengah-tengah potensi konflik yang selalu ada. Sudah banyak ormas keagamaan yang berupaya mempromosikannya yang dikenal sebagai ‘mainstreaming wasathiyah’. Ia berharap konsep ini bisa mendunia dan dipraktikkan oleh masyarakat di negara mana pun. [FAH]
Baca juga Teladan Pemaafan dari Nabi