13/10/2020

Dari Penyintas Muda untuk Perdamaian Indonesia

Aliansi Indonesia Damai- Pelbagai serangan terorisme yang pernah terjadi di Indonesia telah melukai begitu banyak orang tak bersalah. Mereka tidak saja mengalami luka fisik yang harus diobati bertahun-tahun, namun juga harus menderita karena perekonomian yang terpuruk dan perasaan trauma yang lama menghantui mereka.

Di antara para korban itu, banyak yang masih tergolong muda secara usia. Akibat peristiwa itu, segala mimpi dan cita-cita mereka terpaksa harus “dikubur” sejenak, karena mesti fokus pada pengobatan luka fisik maupun psikis. Kesedihan dan penderitaan harus ditanggung meski sesungguhnya mereka tak punya masalah dengan pelakunya.

Ledakan bom di Gereja Santa Maria Tak Bercela Surabaya pada Mei 2018 lalu turut merintangi mimpi-mimpi generasi muda. Desmonda Paramartha salah satunya. Mahasiswi perguruan tinggi swasta di Kota Pahlawan itu harus mengalami luka fisik dan trauma psikis akibat ledakan itu. Ia mengalami luka di tiga bagian tubuh, yakni leher, betis, dan paha. Luka yang paling parah adalah di bagian pahanya.

Baca juga Makna Peringatan Tragedi Terorisme

Ia harus menjalani perawatan di rumah sakit selama lima hari dan dilanjutkan dengan pengecekan rutin selama tiga bulan. Meski demikian Desmonda mengaku telah memaafkan pelakunya. Hal itu ia lakukan karena meyakini bahwa Sang Pencipta mempunyai sifat Maha Pengasih. Sebagai umat-Nya ia pun harus mencerminkan rasa kasih itu dengan memaafkan pelakunya.

Rasa pilu juga dialami salah satu anak korban serangan Bom Bali 2002, Garil Arnandha. Ia adalah putra dari salah seorang korban meninggal dunia, Aris Munandar. Dilansir dari bbc.com (17/02/20), Garil mengalami gangguan psikis lantaran melihat jasad ayahnya yang hangus. Ia pun amat trauma namun memendamnya sedalam-dalamnya.

Perasaan trauma juga dialami Sarah Salsabila, putri sulung Iwan Setiawan, korban Bom Kedutaan Besar Australia tahun 2004. Sebagaimana laporan bbc.com (18/02/20), Sarah sangat terpukul dengan peristiwa itu. Bukan hanya karena sang ayah harus kehilangan satu bola matanya, akan tetapi sang ibu juga meninggal dunia akibat ledakan tersebut.

Baca juga Habitus Perdamaian: Belajar Dari Penyintas (Bag. 1)

Ketiga pemuda tersebut mengaku sudah ikhlas atas semua kepiluan hidup yang mereka hadapi. Seiring perjalanan hidup, mereka berusaha bangkit melawan ketakutan, amarah, dan trauma. Lebih dari itu, mereka memaafkan pelakunya. Hal itu dilakukan semata-mata untuk kedamaian bagi mereka sendiri, keluarga, dan masyarakat luas.

Kisah mereka adalah segelintir dari cerita generasi muda lain yang harus menderita akibat serangan terorisme. Pembelajaran penting yang dapat kita ambil adalah jiwa besar dan keluasan hati untuk bisa memaafkan dan mengikhlaskan semua peristiwa yang menimpanya.

Desmonda merasa dirinya menjadi lebih tenang dan lega setelah memaafkan pelaku dan berdamai dengan keadaan. “Memang memaafkan itu tidak mudah dilakukan, tapi pelan-pelan pasti bisa memaafkan. Saya tahu bahkan sampai sekarang ada teman yang tidak bisa memaafkan. Jika Tuhan saja mampu memaafkan, kenapa kita tidak,” demikian pesan Desmonda.

Baca juga Habitus Perdamaian: Belajar dari Penyintas (Bag 2)

Sementara Sarah ketika bertemu dengan pelaku terorisme, bisa belajar dan memaafkan mereka. Ia melihat bahwa pelaku yang ia temui, menyesali perbuatannya. “Ada pelajaran bahwa manusia bisa melakukan perbuatan buruk tapi bisa juga berubah. Saya belajar banyak dari pertemuan hari ini. Saya bersyukur bisa bertemu beliau dan dapat mengambil pelajaran dari sini,” tutur Sarah dilansir dari laman bbc.

Dengan modal pemaafan ini, perdamaian yang menjadi kebutuhan hidup bagi setiap orang akan terus hadir di bumi. Mereka adalah cerminan pribadi pemaaf dan sosok yang tabah. Dari mereka kita belajar bahwa keburukan yang pernah orang lain lakukan, hendaknya kita balas dengan kebaikan, bukan dengan keburukan serupa. Perdamaian pun akan terus lestari.

Baca juga Mencari Titik-Titik Persamaan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *