07/09/2020

Habitus Perdamaian: Belajar dari Penyintas (Bag 2)

Dalam hidup, tujuan yang ingin dicapai seseorang pastilah sesuai dengan habitus yang dijalaninya. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, habitus dan tujuan hidup bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, yaitu antara kebiasaan dan praktik sosial. Selain itu habitus juga dipahami sebagai dasar kehidupan individu. Secara sadar seseorang melakukan perbuatan yang menurut dia baik atau buruk dan dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi kebiasaan.

Kesadaran tersebut akan terinternalisasi dalam kehidupan di masyarakat. Contoh sederhananya adalah kebiasaan seseorang makan menggunakan tangan kanan yang dilakukan sejak kecil hingga dewasa. Kebiasaan tersebut secara otomatis telah terinternalisasi dalam dirinya. Termasuk dalam menciptakan perdamaian. Salah satu habitus yang harus dilakukan adalah memaafkan dan menghindari kekerasan.

Baca juga Habitus Perdamaian: Belajar Dari Penyintas (Bag. 1)

Pentingnya memaafkan sebagai habitus untuk menciptakan perdamaian bisa dilihat dari kisah korban Bom Bali 2002, Hayati Eka Laksmi. Ia kehilangan suaminya lantaran menjadi korban Bom di Pulau Dewata pada Oktober 2002 silam. Akibat peristiwa tersebut, Eka dan anak-anaknya yang masih kecil harus menerima dampak buruk, trauma berkepanjangan, dan masalah ekonomi di mana ia harus memenuhi kebutuhan anaknya seorang diri.

Atas saran teman-temannya, Eka harus menjalani konseling untuk mengurangi beban yang dia rasakan, juga agar anak-anaknya selalu kuat menghadapi kepergian ayahnya. “Karena anak-anak, ibu bangkit. Kalau ibu rapuh, anak-anak akan rapuh, siapa yang akan merawatnya, yang akan mengurusnya? Kalau ibu kuat, anak-anak Ibu pasti akan kuat. Ibu harus menyelamatkan masa depan anak-anak.” Demikian tutur Eka saat berkisah di hadapan para pelajar yang mengikuti salah satu kegiatan AIDA.

Baca juga Karena Mantan Ekstremis Bukan Joker

Anak pertamanya juga sempat memiliki dendam kepada teroris dan bercita-cita menjadi polisi agar bisa membalas apa yang terjadi kepada bapaknya. Sebagai ibu, ia prihatin terhadap anaknya yang turut mengalami trauma terpendam. Khawatir akan memperparah kehidupannya, maka Eka menanamkan nilai-nilai positif kepada anak-anaknya. Eka berusaha memaafkan pelaku meskipun dengan proses yang tidak instan. Dia merasa harus memaafkan terlebih dahulu sebelum membuat anaknya mengikis dendam kepada para teroris.

Pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah Eka adalah perjuangannya untuk memutus rantai kekerasan agar tidak berlanjut kepada anak-anaknya. Dalam teori habitus, Eka menampilkan dirinya (appearance) sebagai sosok yang menanamkan pentingnya perdamaian dengan kebiasaan menghindari kekerasan.

Baca juga Reintegrasi Sosial Mantan Ekstremis

Dalam Islam, terminologi kekerasan memang tidak mungkin dihilangkan karena termaktub dalam Al-Quran dan hadis. Namun harus dilihat bahwa ada teks selanjutnya yang lebih beradab, yaitu memaafkan sehingga tidak perlu terjadi kekerasan itu sendiri.

Habitus tersebut berbuah manis, Eka cukup kaget ketika anak salah satu pelaku terorisme datang ke rumah dan meminta maaf kepada anak pertamanya. Dia sempat khawatir dendam yang dimiliki keduanya akan menimbulkan pertikaian besar. Namun, apa yang terjadi justru sebaliknya. Mereka saling berjabat tangan dan memaafkan.

Baca juga Mencari Titik-Titik Persamaan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *