11/09/2020

Makna Peringatan Tragedi Terorisme

Hampir semua orang sepakat bahwa peristiwa ledakan bom adalah tragedi kemanusiaan yang memilukan. Ia menimbulkan dampak kerusakan yang luar biasa, mulai dari hancurnya bangunan, jatuhnya korban luka, hingga meninggal dunia. Meskipun demikian peristiwa itu tetap diperingati setiap tahunnya.

Rumah besar kita tercinta, Indonesia, telah berulang kali menjadi sasaran aksi terorisme. Sejarah mencatat, ada sejumlah teror berskala besar yang menimbulkan kerusakan dahsyat dan jatuhnya korban jiwa yang tak sedikit.

Sebut saja Bom Bali 2002 dan 2005, Bom JW Marriott 2003, Bom Kuningan 2004, Bom JW Marriott dan Ritz Carlton 2009, Bom Thamrin 2016, Bom Kampung Melayu 2017, dan yang teranyar peristiwa Bom Surabaya 2018. Di luar itu masih banyak serangan teror lain yang juga menimbulkan korban jiwa dan luka.

Baca juga Habitus Perdamaian: Belajar Dari Penyintas (Bag. 1)

Tanpa bermaksud menyepelekan peristiwa bom lainnya, di bulan September ini, ada dua peristiwa bom yang diperingati. Di dalam negeri, ada peristiwa Bom Kuningan yang diperingati setiap tanggal 9 September. Selanjutnya ada pula serangan 9/11 Amerika Serikat yang diperingati setiap 11 September sebagai tragedi terorisme paling mematikan dalam sejarah abad modern umat manusia. Hari peringatan ditetapkan berdasarkan kapan peristiwa itu terjadi.

Selain itu, setiap tanggal 21 Agustus, dunia memeringati Hari Peringatan dan Penghormatan Internasional untuk Korban Terorisme. Penetapan ini baru diputuskan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 2017 silam. Peringatan diisi dengan aktivitas mengheningkan cipta bersama dan sharing kisah kepiluan korban terorisme di seluruh dunia. 

Sekilas jika dibayangkan, hari peringatan aksi terorisme akan terasa memilukan. Betapa tidak, mengenang peristiwa tragis di masa lampau seolah membuka luka lama yang mungkin saja masih basah. Terkhusus bagi korban yang dikategorikan sebagai pihak yang paling terdampak dari peristiwa tersebut.

Baca juga Habitus Perdamaian: Belajar dari Penyintas (Bag 2)

Dengan mengenang peristiwa tersebut, ingatan para korban otomatis melayang kembali terbawa ke masa lalu. Para korban langsung mengingat detik-detik terjadinya peristiwa yang melukai mereka, sementara para korban tak langsung mengenang saat-saat kehilangan sosok terkasih. Tak heran isak tangis para korban menjadi bagian tak terpisahkan dari momen-momen peringatan.

Walaupun demikian, peringatan tersebut tidak bermaksud membuka luka lama. Peringatan aksi terorisme bertujuan untuk mengingatkan masyarakat betapa aksi terorisme itu sungguh nyata dan berbahaya. Peristiwa memang sudah selesai, pelakunya pun juga sudah tewas atau menjalani hukuman penjara. Bangunan yang hancur karena ledakan juga bisa dengan mudah diperbaiki kembali. Namun bagaimana dengan psikis korban?

Baca juga Mencari Titik-Titik Persamaan

Akibat peristiwa itu, para korban yang tak bersalah dan tidak tahu persoalan yang memicu kemarahan para pelaku hingga beraksi, hingga kini masih merasakan kesakitan, sembari berjuang melanjutkan hidup dengan segala keterbatasan yang ada. Luka yang diderita korban sulit sembuh total. Namun mereka berupaya berdamai dengan luka-luka itu.

Oleh karenanya, peringatan tersebut menyelipkan pesan damai agar kejadian serupa jangan sampai terulang lagi. Para korban sudah cukup ikhlas menerima musibah tersebut sebagai bagian dari garis takdir. Mereka hanya berharap siklus kekerasan dapat terputus sehingga tidak ada lagi korban yang berjatuhan. Kita mungkin bisa mencegah diri kita menjadi pelaku, tetapi tidak ada jaminan kita bisa mencegah diri kita menjadi korban selama siklus kekerasan itu masih berputar.

Baca juga Agen Sosialisasi Perdamaian

Lebih dari itu, hari peringatan dapat memperkuat community bonding di antara para korban. Di tengah kesibukan masing-masing, mereka menyempatkan hadir dan berkumpul pada hari peringatan. Meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda, mereka memiliki satu identitas yang sama sebagai korban. Hari peringatan justru menjadi ajang silaturahmi dan penguatan psikis antarsesama korban.

Identitas kekorbanan itulah yang memerkuat solidaritas. Pada dasarnya, tidak ada yang lebih memahami perasaan korban melainkan sesama korban itu sendiri. Rasa senasib dan sepenanggungan itu mendorong para korban untuk bergandengan tangan dalam rangka saling menguatkan dan menebarkan benih-benih perdamaian.

Baca juga Media Sosial sebagai Sarana Perdamaian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *