Ujian Pertobatan Mantan Ekstremis
Aliansi Indonesia Damai- Stigma negatif dari masyarakat kepada mantan pelaku terorisme kerap tak terhindarkan. Pada saat bersamaan, muncul penentangan dari kelompok lama atas keinsafan mantan ekstremis. Tak terkecuali dialami Mukhtar Khairi.
Ia pernah terlibat dalam pelatihan militer di Pegunungan Jalin Jantho, Aceh Besar, sebagai bentuk persiapan jihad di negara-negara konflik untuk melawan ketidakadilan. Secara perlahan pandangannya berubah dan memutuskan meninggalkan kelompok lamanya.
Baca juga Mukhtar Khairi, Makin Mantap Meninggalkan Ekstremisme Setelah Bertemu Korban
Dalam salah satu kegiatan AIDA, Mukhtar menuturkan, pertobatannya tidak hanya mendapatkan tantangan karena stigma buruk masyarakat, namun juga dari sebagian rekannya dulu yang menganggapnya sebagai pembelot agama. Menurut Mukhtar, sebagian masyarakat khawatir terhadap aktivitasnya lantaran dapat memengaruhi orang lain, terutama di kalangan anak muda. “Awalnya saya ditolak oleh sebagian masyarakat. Pengajian saya dikhawatirkan berdampak negatif,” ujarnya.
Meski mendapatkan penolakan, Mukhtar tetap mengadakan pengajian karena dia sendiri sudah berkomitmen untuk bertobat dari jalan kekerasan. Ia lantas berbaur dengan masyarakat dan menjalin interaksi sosial dengan baik. “Saya berusaha untuk bertemu dengan masyarakat umum dan (berperilaku) sopan. Sekarang saya pun mulai cium tangan, berakhlak dengan akhlakul karimah,” demikian pria kelahiran Jakarta itu mengemukakan.
Baca juga Jalan Panjang Pertobatan Ekstremis
Perilaku tersebut tidak dia lakukan saat masih berada dalam kelompok ekstrem. Akhlak dalam pandangannya merupakan bagian dari misi mulia agama Islam sebagai agama yang memberikan rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin). Dengan cara itu, perlahan Mukhtar mulai merasa terbiasa hidup bersosial dengan masyarakat.
Tentu tidak mudah baginya untuk meyakinkan masyarakat bahwa dia betul-betul bertobat, namun Mukhtar terus berusaha berbaur sebagai bentuk komitmennya hijrah dari kekerasan ke jalan perdamaian. Ia kerap menjelaskan bahwa dirinya sudah tidak lagi di jalan ekstremisme.
Sementara di kalangan ekstremis, Mukhtar dianggap sebagai pengkhianat. Bahkan pada akhir masa tahanannya, ia dijauhi dan diwaspadai oleh teman-temannya sesama narapidana terorisme. Hal itu tak lantas membuat Muhktar menyerah. Ia betul-betul meyakini bahwa kekerasan bukanlah ajaran Islam.
Baca juga Merajut Ukhuwah Merawat Perdamaian
Berdasarkan pengalamannya, Mukhtar menyatakan bahwa kelompok ekstremis sejatinya tidak menjalankan ajaran Islam. Bukan seorang muslim apabila tega sampai melukai orang lain, apalagi sampai membunuh orang-orang yang sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang permasalahan kelompoknya. Karena itu, ia berusaha mencari pemahaman dari kelompok lain yang dianggapnya condong kepada perdamaian.
Sampai saat ini, ia masih merasakan kekhawatiran akan ancaman dari kelompok lamanya. Namun itu tak menyurutkan tekadnya untuk bergabung bersama komunitas-komunitas sosial, salah satunya bersama AIDA, untuk menyebarluaskan nilai-nilai perdamaian bagi masyarakat luas. Harapannya, apa yang ia lakukan bisa memberi kontribusi untuk Indonesia yang lebih damai di masa depan.
Baca juga Ekstremisme dan Filosofi Sandal