10/01/2021

Sensitif Meliput Terorisme

Aliansi Indonesia Damai – Selama beberapa tahun, peliputan isu terorisme banyak memberi porsi pada sisi kengerian yang ditimbulkan oleh aksi teror. Misalnya menampilkan korban atau pelaku yang mengalami luka dan bersimbah darah. Di sisi lain jurnalis cenderung terburu-buru menginformasikan identitas pelaku teror. Namun akhir-akhir ini pola itu relatif berubah.

Hal tersebut diungkapkan oleh Hanif Suranto, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara, dalam Short Course Daring Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme yang digelar AIDA, beberapa waktu silam. Kegiatan diikuti puluhan jurnalis dari media cetak maupun elektronik di Indonesia.

Baca juga Wartawan Harus Cermat Meliput Teror

Menurut dia, belakangan ini peliputan isu terorisme sudah mulai memunculkan perspektif lain, misalnya mengangkat tema simpati kepada para korban. Pemberitaan itu menjadi suguhan utama di samping fakta terjadinya peristiwa teror itu sendiri. “Meski belum banyak jurnalis yang mengeksplorasi perspektif korban tersebut,” tutur Hanif yang lama berkecimpung di media massa.

Yeyen, salah satu peserta kegiatan, merespons pernyataan Hanif. Dalam hematnya, eksplorasi pemberitaan terorisme itu sangat luas. Tetapi kebanyakan wartawan hanya mengeksplorasi hal kecil. Padahal ada korban yang secara langsung maupun tidak langsung terdampak dari aksi teror yang dilakukan pelaku.

Baca juga Pernyataan Pers Aliansi Indonesia Damai (AIDA) Tentang Hak-Hak Korban Terorisme

Hanif membenarkan pernyataan Yeyen tersebut. “Jika kita bicara peliputan terorisme, kita juga bisa mengeksplorasi, apa sih sebetulnya kebutuhan korban? Tidak hanya emosi, bisa juga rasionalitasnya, seperti dampak yang korban dapatkan dengan melakukan advokasi,” ucapnya.

Sementara Djunaedi, peserta perwakilan dari salah satu media massa di Sulawesi menjelaskan pengalamannya menulis pesan-pesan toleransi sebelum dan sesudah peristiwa terorisme di Sigi Sulawesi Tengah. Ia tidak mau membela ke salah satu pihak. “Apakah tindakan saya sudah benar melakukan hal tersebut?” katanya.

Baca juga Urgensi Peliputan Terorisme Berperspektif Korban

Dalam pandangan Hanif, jurnalis bukan sekedar melaporkan fakta, akan tetapi memahami tujuan pelaporan fakta tersebut “Bagaimana kalau penyebaran fakta itu memberikan stigma pada korban, padahal tidak ada hubungan sama sekali. Maka penting untuk jurnalis melindungi korban,” katanya.

Oleh karena itu, tujuan utama jurnalisme tidak sekedar melaporkan fakta tapi juga melihat apakah peliputannya sudah menjawab kebutuhan para korban sebagai individu yang terdampak. [NOV]

Baca juga Media Harus Terlibat Membangun Perdamaian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *