Anomali Jihad

Jihad dalam ajaran Islam memiliki arti yang cukup luas. Implementasinya disesuaikan dengan kemampuan dan kapasitas tiap individu. Pemaknaan jihad kerap diperdebatkan di kalangan komunitas akademis. Apalagi jika maknanya digiring ke praktik-praktik yang eksklusif dan ekstrem. 

Istilah jihad menjadi anomali karena kerap diidentikkan dengan terorisme. Seolah dua kata ini memiliki hubungan sinonim. Hal tersebut terjadi karena sebagian aktivis jihad gagal atau salah memahami konsep jihad dan bahkan melupakan konteks sejarah, hukum, rukun, syarat, dan adab-adabnya. Walhasil terjadilah berbagai macam aksi dan reaksi yang merugikan kemanusiaan.

Karena perkembangan media informasi begitu masif, jihad yang seharusnya dipahami dan dilaksanakan secara proporsional mengalami kekeringan makna. Terminologi jihad direfleksikan sebagai gambaran dari keganasan sifat barbarisme dan gemar menumpahkan darah. Jihad diartikan dengan membunuh atau dibunuh (to kill or to be killed) atas nama agama.

Anomali tersebut bukan tanpa bukti. Dalam salah satu kegiatan AIDA, Asep Wahyudi,  korban Bom Kuningan 2004, mengisahkan perjuangannya melanjutkan hidup usai terkena musibah. Dampak pengeboman pada dirinya sungguh mengusik hati penulis. Satu telinga dan satu matanya tidak lagi berfungsi normal. Kakinya tak lagi bisa digunakan untuk berjalan agak jauh. Saraf di beberapa tubuhnya mengalami kerusakan. Bisa dikatakan, setengah anggota tubuhnya mengalami kelumpuhan. 

“Untuk para teroris, insaf lah. Inilah saya sebagai korban yang mengalami cacat seumur hidup. Menderita seumur hidup. Karir saya juga tersendat sekarang,” demikian ujarnya. Bahkan dua kali Asep mencoba membangun rumah tangga, namun semuanya harus berakhir perpisahan. Tak mudah menemukan perempuan yang bisa menerima keadaan Asep. Kisah Asep hanya segelintir dari bukti anomali jihad. Masih sangat banyak cerita korban kekerasan atas nama jihad yang tak kurang menyedihkannya.  

Asep merupakan seorang muslim taat. Ia menjalankan rukun Islam dan Iman sebagaimana seharusnya. Asep juga warga negara yang baik, tidak melakukan pelanggaran hukum. Tak ada alasan bagi siapa pun menumpahkan darahnya, bahkan atas nama jihad sekali pun.

Dalam pengamatan penulis, banyak orang yang melakukan aksi atas nama jihad tanpa melalui prosedur dan tahapan yang disyaratkan. Padahal jika merujuk sejarah Nabi Muhammad SAW, jihad dilakukan setelah dakwah. Jihad pun dilakukan dengan aturan ketat, tak serampangan. 

Sebagai bagian dari syariat, jihad juga harus berdasarkan pertimbangan maqasidush syariah (tujuan diturunkannya syariat), yang salah satunya adalah hifhun nafsi (menjaga jiwa raga). Tujuan jihad adalah melindungi kemanusiaan, bukan sebaliknya menimbulkan kemudaratan pada khalayak luas.  

Jihad membutuhkan pedoman dan arahan dari aspek keilmuan yang memerhatikan kemaslahatan-kemaslahatan dan menolak kerusakan-kerusakan. Jika suatu kelompok mengklaim melaksanakan jihad tetapi justru merugikan serta merusak istilah jihad dan upaya dakwah, maka sejatinya itu bukanlah jihad. 

Jihad bukanlah tindakan menyerang musuh secara membabi buta tanpa memerhatikan dan memedulikan kerugian yang justru akan menimpa khalayak luas akibat kecerobohan yang dilakukan. 

Jihad tidaklah menyakiti orang tua, perempuan, anak-anak, dan warga sipil yang tak mengangkat senjata, bahkan jika dalam barisan musuh sekali pun. Jihad tidaklah menyerang rumah ibadah umat agama lain yang tidak memerangi Islam. Jihad memiliki sejumlah aturan yang perlu dipahami dengan ilmu bukan dengan hawa nafsu. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *