Ikhlas Menerima Suratan Takdir
Aliansi Indonesia Damai- Niken Sri Parawani kehilangan suaminya, Dwi Data Subekti, yang menjadi korban penembakan orang tak dikenal pada 30 Agustus 2012, di Surakarta, Jawa Tengah. Dwi merupakan anggota Polsek Singosaren Surakarta yang mendapatkan jadwal dinas malam pada hari itu. Karenanya Dwi baru meninggalkan rumah sekitar jam 8 malam.
Niken sempat merasakan hal yang tidak biasa. Wajah suaminya tampak pucat. Namun Niken menepis segala prasangkanya. “Suami saya memang pendiam,” ujarnya mengenang sosok ayah dari tiga buah hatinya itu.
Baca juga Menepis Dendam Mengikis Trauma (Bag. 1)
Sekira jam 9 malam, Niken mendapatkan informasi dari tetangganya bahwa ada kejadian penembakan di dekat pusat perbelanjaan kawasan Singosaren. Oleh tetangganya, Niken disuruh untuk menghubungi suaminya. Ia sempat bergeming karena suaminya belum lama bertolak dari rumah.
Namun didorong rasa penasaran, ia mengontak telepon seluler suaminya. Panggilannya tak menuai hasil karena nomor yang dihubunginya tidak aktif. Ia lantas menelepon Mapolsek Singosaren, tempat suaminya berkantor. Pihak Polsek meminta Niken untuk mendatangi tempat kejadian perkara (TKP) penembakan. Bersama anaknya, ia lekas bertolak menuju lokasi untuk memastikan kondisi suaminya.
Baca juga Menepis Dendam Mengikis Trauma (Bag. 2-terakhir)
Selama di perjalanan, perasaannya sudah campur aduk. Meski masih ada rasa optimis bahwa suaminya hanya cedera, tak sampai meninggal, namun kesedihan tetap menggelayutinya. “Anak saya coba menguatkan. Saya beberapa kali berhenti di jalan, takut saya jatuh,” katanya.
Setibanya di TKP, Niken dan anak-anaknya diantarkan dengan mobil ambulans menuju Rumah Sakit Muwardi, Jebres, Solo. Ia merasa janggal karena tidak diarahkan ke ruang unit gawat darurat (UGD) melainkan menuju ruang jenazah. “Saya tanya ke perawat, ternyata bapak sudah meninggal,” ucapnya.
Baca juga Pesan Pamungkas Korban Bom Kuningan (Bag. 1)
Saat itulah tangisnya tak terbendung lagi. Ia dan anaknya melihat jasad belahan hati mereka yang terbujur kaku dengan pakaian dinas yang masih melekat. “Perasaan saya seperti mengambang. (Kaki) seperti tidak menapak ke bumi,” ucapnya.
Dalam suasana kesedihan, sejumlah tokoh dan pejabat mengunjunginya seraya memberikan santunan. Salah satu tokoh yang diingatnya adalah almarhum Tjahjo Kumolo (mantan Menpan RB). Jasad suami dikuburkan keesokan harinya di kompleks pemakaman keluarga.
“Apa yang menimpa saya merupakan suratan takdir. Bagi saya, suami telah berjuang sampai titik darah penghabisan. Saya ikhlas,”
Niken menuturkan, musibah tersebut memang sangat mengejutkan, tetapi ia merasa diberi kekuatan, terlebih ia merupakan perempuan bhayangkara. Sejak memutuskan menikah dengan polisi, ia telah diinformasikan akan adanya risiko-risiko yang menimpa suami karena tugas.
“Apa yang menimpa saya merupakan suratan takdir. Bagi saya, suami telah berjuang sampai titik darah penghabisan. Saya ikhlas,” ujarnya di hadapan puluhan tokoh agama Riau dalam kegiatan “Pelatihan Pembangunan Perdamaian di Kalangan Tokoh Agama” yang digelar AIDA akhir Juni silam.
Baca juga Pesan Pamungkas Korban Bom Kuningan (Bag. 2-Terakhir)
Lima tahun usai peristiwa tersebut ia sempat dipertemukan dengan para mantan pelaku terorisme, di daerah Cemani, Sukoharjo, yang kerap dianggap sebagai sarang ekstremis Solo. “Saya tidak grogi. Dendam tidak, kalo sakit hati iya, masih ada, tapi tetap tegar. Kalau tidak, kasihan sama anak. Ya memang jalannya seperti itu,” katanya.
Niken pun menyikapi fenomena terorisme dengan sangat bijak. “Kesimpulan kami harus tetap damai. Karena beberapa orang (mantan pelaku terorisme) juga sudah baik. Harus kita terima dengan lapang dada,” ucapnya.
Baca juga Berdamai dengan Trauma: Kebangkitan Penyintas Bom Thamrin (Bag. 1)