22/04/2021

Dialog Mahasiswa Universitas Peradaban dengan Mantan Napiter

Aliansi Indonesia Damai- AIDA bekerja sama dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Universitas Peradaban Bumiayu menggelar Diskusi dan Bedah Buku “La Tay’as: Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya” pada Jumat (16/04/2021). Salah satu narasumber yang dihadirkan adalah Kurnia Widodo, mantan narapidana terorisme (Napiter). Kurnia berkisah tentang sepak terjangnya di jaringan ekstremisme kekerasan dan pertobatannya.

Menanggapi paparan Kurnia, salah seorang peserta bertanya tentang faktor yang membuat kelompok teror melancarkan aksinya. Menurut pengalaman Kurnia, faktor utama adalah karena doktrin jihad. Kelompok ekstrem menganggap mereka tengah berada dalam ‘penjajahan kekafiran’ sehingga tidak segan menyerang aparat negara yang dianggap murtad karena membela negara.

Baca juga Mengenalkan Perspektif Korban kepada Mahasiswa

Di samping itu, kelompok ekstrem juga tidak segan-segan menghabisi nyawa umat non-muslim karena terobsesi dengan dendam. “Aksi tersebut mereka anggap sebagai bentuk pembalasan atas konflik di tempat lain (yang menyasar umat Islam). Mereka membawa ketidakadilan di tempat lain ke sini, yang justru menimbulkan ketidakadilan baru,” ujar Kurnia.

Peserta lain lantas merespons dengan pertanyaan lanjutan. Dia menanyakan alasan di balik keyakinan kelompok ekstrem bahwa aksi bom bunuh diri sebagai upaya meraih kesyahidan.

Baca juga Belajar dari Kehidupan Korban Kekerasan

Kurnia menjelaskan, kelompok teror sering mengutip peristiwa di masa lalu, di mana ada salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw yang memasuki benteng lawan seorang diri. Hal ini lantas dianalogikan dengan aksi bom bunuh diri. Jika dia meninggal, maka Allah akan memberinya pahala syahid.

Namun Kurnia mengkritisi konsep itu. Menurut dia, jihad harus memertimbangkan niat, target, dan momentum secara tepat, tidak boleh dilakukan secara serampangan. Jihad yang keliru hanya akan menimbulkan lebih banyak kerusakan dan kerugian bagi diri sendiri maupun orang lain. Kurnia tidak setuju jihad hanya bermakna perang. “Banyak amalan jihad lainnya yang juga bernilai surga,” katanya.

Baca juga Membangun Perdamaian di Universitas Peradaban Bumiayu

Kurnia lalu meminta para peserta yang seluruhnya berstatus mahasiswa agar mewaspadai perekrutan kelompok teror. Karena itu sangat penting mengenali ciri-cirinya. Dalam hematnya, identitas kelompok ekstrem tidak dilihat dari cara mereka berpakaian, tetapi lebih ke ideologi.

“Cadar, jenggot, celana cingkrang bukanlah identitas terorisme. Terorisme lebih kepada pemikiran. Mereka mudah sekali mengkafirkan baik orang maupun sistem negara. Demokrasi dianggap syirik, yang ikut pemilu dianggap musyrik. Paham kelompok mereka dianggap kebenaran mutlak,” tutur Kurnia.

Baca juga Dialog Mahasiswa IIQ Yogyakarta dengan Penyintas Terorisme

Bagi mereka yang sudah terlanjur terpapar paham ekstrim, Kurnia menyarankan agar orang tersebut dijauhkan dari kelompoknya. Pemahaman ekstremnya kemudian dikonfrontasi dari berbagai sisi; dalil, logika, dan wawasan kemanusiaan. [FAH]

Baca juga Generasi Intelektual Duta Perdamaian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *