17/04/2021

Dialog Mahasiswa IIQ Yogyakarta dengan Penyintas Terorisme

Aliansi Indonesia Damai- Mulyono, salah seorang korban bom di depan Kedutaan Besar Australia, Kuningan Jakarta Selatan, menderita cedera fisik yang sangat serius. Ia sampai harus menjalani operasi rekonstruksi rahang berkali-kali selama empat bulan di sebuah rumah sakit di Singapura. Bahkan karena masih belum berhasil, Mulyono mesti melakukan operasi lanjutan di Australia.

Proses rekonstruksi tulang rahangnya dilakukan dalam durasi sekitar dua tahun dan nyaris tak berhasil. Tak hanya luka fisik, ia juga mengalami trauma luar biasa. Tidak mudah menghilangkan dampak psikis sekaligus fisik yang ia alami. “Saya memiliki beban fisik dan mental,” tutur Mulyono saat menjadi narasumber dalam Diskusi dan Bedah Buku La Tay’as yang digelar AIDA bersama mahasiswa Institut Ilmu Al-Quran An-Nur, Yogyakarta, awal bulan ini.

Baca juga Belajar dari Kehidupan Korban Kekerasan

Setelah sekian lama menanggung derita, Mulyono akhirnya memilih ikhlas menerima semua kenyataan yang dia alami. Ia pun sudah tidak memikirkan pelakunya. Karena baginya, dendam tidak mungkin dapat menyelesaikan masalah. “Semua rencana dari Allah SWT pasti baik bagi setiap hamba-Nya. Allah pasti tidak akan memberikan beban di atas batas kemampuan hamba-Nya,” ucapnya.

Kegiatan dihadiri puluhan mahasiswa dari berbagai jurusan. Mendengar kisah kehidupan Mulyono, seorang mahasiswa bertanya apa yang membuat dirinya ikhlas dan mampu memaafkan pelakunya. Menurut Mulyono, ikhlas dan memaafkan adalah cara terbaik untuk berdamai dengan diri sendiri dan dengan keadaan. “Beban psikis saya berkurang, karena beban mental yang saya alami telah saya ikhlaskan. Karena itu, saya bisa melanjutkan hidup,” ungkapnya.

Baca juga Generasi Intelektual Duta Perdamaian

Akibat peristiwa itu, Mulyono juga makin dekat dan mendalami pesan-pesan ibroh dari ajaran agama. “Saya banyak belajar dari Al-Qur’an. Allah tidak akan membebani kita kecuali atas kemampuan kita. Sampai detik ini, saya berpegang kepada pesan Al-Qur’an ini,” katanya.

Seorang mahasiswa lain bertanya apakah pemerintah sendiri memberikan bantuan kepada para korban? Menurut pengakuannya, saat itu belum ada regulasi dan ketentuan yang jelas dalam Undang-undang terorisme mengenai hak-hak korban. Sehingga ia lebih banyak mendapatkan bantuan dari luar, seperti dari Pemerintah Australia.

Baca juga Dialog Mahasiswa IIQ Yogyakarta dengan Mantan Napiter

Ia mengatakan, tidak mudah bagi para korban untuk mendapatkan perawatan saat terkena bom. Karena itu support dari pemerintah terhadap mereka yang terdampak aksi terorisme sangat penting. Korban sendiri merupakan pihak yang tak tahu apa-apa dari serangan yang dilakukan oleh teroris. “Mereka kehilangan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan dan lain sebagainya,” ujarnya.

Saat ini Mulyono bergabung dengan Yayasan Penyintas Indonesia (YPI), komunitas yang menghimpun korban bom yang pernah terjadi di Indonesia. Bersama AIDA ia turut berkolaborasi dengan mantan pelaku yang insaf untuk mengampanyekan perdamaian bagi masyarakat luas di Indonesia. [FS]

Baca juga Pengalaman Belajar Nilai Perdamaian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *