Memahami Terorisme dari Perspektif Korban
Aliansi Indonesia Damai- Memahami peristiwa terorisme tidak bisa hanya dilihat dari perspektif berita sela (breaking news). Sebab terorisme tidak hanya muncul pada saat kejadian. Terorisme timbul karena berbagai faktor, asal-muasal, dan tahapan-tahapannya. Karena itu, memahami terorisme harus utuh, terutama dari perspektif korban yang selama ini tidak banyak mendapatkan perhatian.
“Terorisme itu ada prosesnya, ada mudirnya, tidak hanya pengeboman. Nah masyarakat luas tidak diberitahu asal muasal dan tahapan-tahapannya. Kalau begini kita akan gagal memahami terorisme,” kata Ketua Pengurus AIDA, Hasibullah Satrawi saat menjadi narasumber Diskusi dan Bedah Buku La Tay’as: Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya yang digelar AIDA secara daring pertengahan bulan lalu. Kegiatan ini hasil kerja sama dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Hasyim Asyári Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Purwokerto.
Baca juga Dialog Mahasiswa UMP dengan Mantan Ekstremis
Hasibullah mengatakan, perspektif berita hangat dalam peristiwa aksi terorisme dapat menjebak masyarakat pada pemahaman-pemahaman yang keliru. Terorisme harus dipahami secara menyeluruh sehingga tidak ada pemahaman yang sepotong.
Dalam tragedi terorisme tak ada yang bisa diminimalkan dalam derita korban. Ada yang mengalami disabilitas, kehilangan anggota keluarga, termasuk luka psikis dan trauma selalu menjadi kisah pilu akibat aksi keji terorisme. “Apa yang dikisahkan korban begitu luar biasa. Ini bukan sekadar nasib, tetapi adalah perjuangan hidup. Kita tidak akan sanggup menjadi korban,” tutur Hasibullah.
Baca juga Mahasiswa Unsoed Meneladani Ketangguhan Penyintas
Alumni Universitas Al-Azhar Kairo Mesir itu menjelaskan bahwa perspektif korban dalam isu terorisme sangat penting menjadi narasi pembangunan perdamaian. Kisah korban turut menyadarkan masyarakat bahwa aksi terorisme telah melukai bahkan menghilangkan nyawa korban tak bersalah. Terlebih, menjaga nyawa manusia merupakan ajaran agama. “Itulah yang disebut maqasid as-syariah, tujuan syariat. Sangat penting menjaga nyawa manusia atau hifdzu an-nafs,” papar Hasibullah.
Dari perspektif pelaku, Hasibullah mengajak mahasiswa untuk melihatnya sebagai sumber utama dari informasi kebenaran terorisme. Masyarakat bisa mengetahui musabab terjadinya perbuatan ekstrem termasuk bagaimana mereka selama ini terjerumus ke dalam kelompoknya. “Terorisme bukan penyakit orang tertentu, tetapi lintas ormas, bahkan lintas agama. Jadi virus terorisme bisa mengenai kita semua,” ungkapnya.
Baca juga Dialog Mahasiswa Unsoed dengan Penyintas Bom Bali
Ia pun mengajak mahasiswa untuk lebih berhati-hati dalam menerima segala informasi yang menyebabkan seseorang merasa paling benar dan menyalahkan yang lainnya. Terorisme kerap terjadi lantaran pelakunya merasa apa yang dilakukan dibenarkan oleh agama. “Terorisme dalam ruang lingkup agama disebut haqiqah mutlaqah atau klaim pemegang kebenaran. Hati-hati dengan klaim itu, karena bisa terjadi kekerasan,” ujarnya.
Selain itu, virus terorisme juga rentan di kalangan muda karena memiliki semangat beragama yang tinggi. “Terorisme masuk ke kalangan generasi muda karena semangat yang berkobar, semangat jihad dan semangat keislaman, serta kepedulian terhadap rakyat kecil. Dari situ masuknya, jadi tidak langsung dipaparkan langsung terkait cara mengebom,” katanya memungkasi. [AH]
Baca juga Berbagi Pengalaman Bertemu Korban dan Pelaku Terorisme