05/05/2021

Dialog Mahasiswa UMP dengan Mantan Ekstremis

Aliansi Indonesia Damai- Ratusan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) mengikuti kegiatan Diskusi dan Bedah Buku La Tay’as; Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya, pada Selasa (27/04/2021). Kegiatan daring ini merupakan hasil kerja sama AIDA dengan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Komisariat UMP.

Salah satu narasumber yang hadir adalah mantan pelaku terorisme, Ali Fauzi. Setelah panjang lebar menceritakan perjalanan hidup bersama kelompok ekstremisme kekerasan dan keputusannya bertobat, sejumlah mahasiswa memberondong Ali dengan beberapa pertanyaan.

Baca juga Mahasiswa Unsoed Meneladani Ketangguhan Penyintas

Salah satu mahasiswa menanyakan tentang hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya aksi terorisme. Berdasarkan pengalamannya, Ali Fauzi mengutarakan tiga faktor pemicu. Pertama, pemahaman keagamaan. Kelompok teror meyakini bahwa jihad adalah amal ibadah yang paling utama. “Mereka menganggap jihad hukumnya fardhu ‘ain. Sama seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Maka kelompok teror tak ragu melancarkan aksi,” katanya.

Faktor yang kedua adalah ketidakadilan. Banyak sekali ketidakadilan yang terjadi di Indonesia. Lebih-lebih dalam perkara hukum Indonesia tidak menerapkan syariat Islam. Indonesia lebih berlandaskan pada KUHP dan Pancasila yang mereka anggap sebagai bagian kesyirikan. Sistem demokrasi termasuk dalam target pelabelan syirik.

Baca juga Dialog Mahasiswa Unsoed dengan Penyintas Bom Bali

Adapun faktor yang ketiga adalah konflik global. Kelompok teror banyak yang merujuk pada kekerasan yang dialami oleh umat Islam di Timur Tengah untuk melegitimasi serangan-serangan mereka di Indonesia. “Tidak bisa dipungkiri, setiap ada konflik global, di Suriah, Palestina, selalu berimbas pada aksi teror di Indonesia,” ungkap Ali.

Mahasiswa lain bertanya tentang ciri atau karakteristik teroris. Ali mengatakan, cukup sulit membedakan antara masyarakat biasa dengan teroris, kalau dilihat dari fisiknya saja. Sebab teroris juga kerap melakukan kamuflase atau strategi penyamaran untuk menyembunyikan identitasnya.

Baca juga Berbagi Pengalaman Bertemu Korban dan Pelaku Terorisme

Bahkan tak jarang masyarakat terkecoh dengan penampilan. “Biasanya pascapenangkapan teroris, tetangganya diwawancarai, lalu menjawab ‘oh dia baik, sopan sama tetangga, selalu ke masjid’, ya memang secara kasat mata seperti itu,” kata Ali.

Namun, ketika dibedah pemahamannya, baru akan ketahuan keterkaitan seseorang dengan terorisme. “Jika mengarah kepada pemikiran takfiri, benci terhadap Indonesia, tidak mau hormat bendera, tidak mau menyanyikan lagu Indonesia Raya, itu merupakan bagian dari pintu- pintu yang mengarah pada pemikiran teroris,” ucapnya.

Baca juga Dialog Mahasiswa Unsoed dengan Mantan Napiter

Oleh karena itu, Ali menyayangkan jika penampilan fisik diidentikkan dengan terorisme. Ia mencontohkan penggunaan cadar. Banyak perempuan bercadar yang justru berpikiran moderat dan menolak aksi terorisme. Cadar, baginya, hanya preferensi berpakaian. Sehingga generalisasi semacam itu tidak dibenarkan.

Di akhir sesi, Ali Fauzi mengajak masyarakat untuk ikut berperan menanggulangi terorisme. Salah satu caranya yang paling mudah adalah dengan menunjukkan empati dan simpati. Ali meminta masyarakat untuk tidak menuduh aksi terorisme sebagai konspirasi elit.

“Jangan kita berpandangan, ini (terorisme) rekayasa, ini pengalihan isu, ini operasi intelijen. Bukan. Jangan ada yang berasumsi macam-macam. Semuanya jelas dilakukan oleh grup-grup yang ingin menggulingkan Indonesia. Dukungan yang kuat terhadap pihak keamanan itu penting,” ujar Ali tegas. [FAH]

Baca juga Merangkul Mereka yang Bertobat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *