Mencegah Pemuda Terpapar Paham Ekstrem
Aliansi Indonesia Damai- Peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Solahudin, mengingatkan generasi muda, khususnya mahasiswa untuk lebih berpikir kritis terhadap narasi-narasi ekstremisme, terutama yang banyak berseliweran di media sosial. Kecenderungan gerakan terorisme mutakhir menyebarkan narasi-narasi ekstremisme lewat jagat maya.
“Mereka menilai sosial media mudah dan murah,” ujar Solahudin saat berbicara dalam Diskusi dan Bedah Buku La Tay’as: Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya beberapa waktu lalu. Acara yang digelar AIDA bekerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Universitas Peradaban Bumiayu, Jawa Tengah, merupakan tindak lanjut dari kegiatan AIDA sebelumnya, yakni seminar dan Pelatihan Pembangunan Perdamaian di Kalangan Mahasiswa.
Baca juga Meluruskan Stereotip Terorisme
Solahudin menjelaskan, dalam beberapa tahun terakhir, aparat keamanan berhasil menangkap dan mengamankan sekitar 1400 pelaku terorisme atau yang terindikasi akan melakukan teror. Sebagian besar mengaku sebagai ansharud daulah dan telah berbaiat kepada ISIS. Fenomena ini menjadi bukti bahwa gerakan terorisme masih menjadi ancaman.
Para pengikut ISIS biasanya menganggap pemerintah sebagai thogut dan kafir, sehingga halal darahnya. Pemerintah dinilai menerapkan hukum-hukum yang bertentangan dengan hukum Allah, karena itu melawan pemerintah sama halnya dengan jihad di jalan Allah.
Baca juga Dialog Mahasiswa UMP dengan Korban Bom Kuningan
Selain itu, kelompok ekstrem juga kerap menuduh orang dan kelompok lain yang tidak sepaham dengan mereka sebagai kafir. Mereka menganggap kelompok lain juga halal darahnya. “Mereka mengkafirkan orang lain, dan boleh dibunuh dan diambil hartanya,” ujarnya.
Ia menambahkan, banyak orang Indonesia memilih hijrah ke Suriah lantaran menganggap pemerintah dan negaranya sendiri telah meninggalkan ajaran Islam yang murni dan menggantinya dengan nilai-nilai kesyirikan dan kekafiran. Celakanya, mereka yang tidak berhasil masuk wilayah Suriah dideportasi kembali ke Indonesia dan malah melakukan aksi teror di negaranya sendiri.
Baca juga Memahami Terorisme dari Perspektif Korban
“Misalnya, pada tahun 2014, banyak sekali orang-orang hijrah ke Suriah. Mereka tidak berhasil, akhirnya banyak orang dipulangkan dari Turki ke Indonesia. Mereka di Indonesia melakukan amaliyat. Itulah kenapa banyak rentetan aksi teror sejak tahun 2015-2020,” ucapnya.
Salah seorang peserta bertanya mengenai cara yang efektif untuk menghindari pemahaman yang ekstrem, terutama di kalangan generasi muda. Solahudin menganalogikan bahaya ekstremisme dengan virus Covid-19 yang terus tumbuh dan menyebar bila imun masyarakat lemah dan tak ada kekebalan kolektif (herd immunity). Karena itu, terorisme juga membutuhkan vaksin untuk memertahankan kekebalan seseorang dari paham tersebut.
Baca juga Dialog Mahasiswa UMP dengan Mantan Ekstremis
Salah satu vaksin yang efektif digunakan adalah dengan mengambil ibroh dari kisah-kisah pertobatan mantan pelaku terorisme dan juga penderitaan para korbannya. Kisah dua belah pihak dianggap ampuh membangun nilai-nilai perdamaian, sebab mereka adalah bukti nyata adanya aksi terorisme dan bahayanya. “Perlu melakukan imunisasi bagi generasi muda, agar memiliki kekebalan dari paham radikalisme. Vaksin dari virus terorisme yang efektif adalah melakukan kontra narasi dari dua perspektif (pelaku dan korbannya),” tutur Solahudin.
Sementara bagi yang sudah terpapar ekstremisme, maka harus diberikan terapi khusus. “Seperti menghadapi Covid-19. Kalau misalnya ada orang yang menyebarkan virus kekerasan, maka dia harus diisolasi mandiri, bantu dia untuk isolasi mandiri, agar dia sembuh dari pemahamannya,” ucapnya.
Baca juga Mahasiswa Unsoed Meneladani Ketangguhan Penyintas
Solahudin meyakini, narasi mantan pelaku dan korbannya cukup efektif untuk meredam arus penyebaran paham ekstrem yang banyak menyasar pemuda dan mahasiswa. “Menurut saya narasi menjadi korban sangat efektif, karena mereka adalah orang yang terdampak langsung. Ngerinya aksi terorisme itulah dampak langsung dari dahsyatnya perbuatan ekstrem,” katanya memungkasi. [FS]