Dialog Mahasiswa UMP dengan Korban Bom Kuningan
Aliansi Indonesia Damai- AIDA bekerja sama dengan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Komisariat Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) menggelar Diskusi dan Bedah Buku La Tay’as; Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya, Selasa (27/04/2021). Kegiatan yang digelar secara daring itu diikuti ratusan mahasiswa UMP.
Salah satu narasumber yang dihadirkan adalah Sudirman A Thalib, korban Bom Kuningan 2004. Ia mengisahkan perjalanan hidupnya sebagai sebagai seorang perantau dari Bima, Nusa Tenggara Barat, di ibu kota. Harapannya untuk membantu perekonomian keluarganya nyaris pupus akibat peristiwa serangan bom di depan kantor Kedubes Australia, 9 September 2004, tempat di mana ia bekerja sebagai petugas keamanan. Namun dengan kegigihannya, Sudirman mampu bangkit dan berhasil mewujudkan niat mulia untuk meringankan beban keluarga di kampung halaman.
Baca juga Memahami Terorisme dari Perspektif Korban
Usai paparan Sudirman, salah seorang mahasiswa bertanya tentang perasaan trauma yang menjangkitinya pascakejadian. Sudirman tak menampik bahwa dia pernah merasakan trauma hebat. Apalagi, kejadian itu terjadi di tempatnya mencari nafkah, sehingga akan selalu bersinggungan dengan dirinya. Sehingga mau tak mau dia harus melawan rasa trauma. “Yang terpenting adalah bagaimana saya harus kuat kembali bekerja di tempat ledakan itu terjadi. Saya harus bangkit untuk menata kehidupan yang lebih baik,” tuturnya.
Dalam prosesnya menuju kebangkitan, Sudirman selalu melibatkan orang-orang terkasihnya. Keberadaan orang-orang terkasih menjadi amunisi semangat. Ia juga selalu mengingat-ingat impiannya, hingga pada titik sukses melumpuhkan trauma itu.
Baca juga Dialog Mahasiswa UMP dengan Mantan Ekstremis
“Saya masih punya keluarga, orang tua, saudara-saudara. Saya juga masih punya banyak impian. Makanya, saya tidak boleh menyerah dengan rasa trauma itu. Rasa optimisme dan perjuangan untuk menggapai cita-cita menjadi modal saya untuk melawan rasa trauma,” ucapnya.
Mahasiswa lain bertanya tentang bagaimana Sudirman bisa memaafkan pelaku yang telah merenggut banyak hal dari dirinya.
Sudirman mengaku proses untuk memaafkan itu tidak mudah. Awalnya, dia bahkan tak habis pikir, mengapa dia dan teman-temannya dilukai. Padahal dirinya juga seorang muslim, sama dengan para pelaku penyerangan. Apalagi dampak dari serangan itu membuatnya mengalami disabilitas. Dia kehilangan bola matanya. Jaringan sarafnya juga rusak sehingga harus meminum obat tiap hari hingga saat ini.
Baca juga Mahasiswa Unsoed Meneladani Ketangguhan Penyintas
Namun, Sudirman menyadari bahwa menyimpan amarah dan dendam justru tidak mengembalikan apa yang telah direnggut darinya. Yang ada, justru menambah rasa sakit. “Kebencian hanya membuat saya terhambat untuk bangkit. Memaafkan justru menjadi solusi terbaik. Karena dengan (pemaafan) itu, sakit fisik yang saya alami terasa jadi lebih ringan. Jauh lebih membantu saya untuk sembuh,” ungkapnya.
Sudirman lantas berpesan kepada generasi muda agar tak pantang menyerah dalam mengejar impian walaupun dihadang oleh banyak rintangan. “Jangan pernah takut bermimpi, karena bermimpi itu gratis. Walaupun misalnya kita penuh dengan keterbatasan, yakinlah bahwa Allah selalu bersama kita. Apabila terjatuh, segeralah bangkit,” katanya memungkasi. [FAH]