Tantangan Jurnalisme Berperspektif Korban
Aliansi Indonesia Damai – Bukan hal mudah bagi jurnalis untuk meliput peristiwa terorisme yang menjunjung tinggi kode etik jurnalistik sekaligus mengarusutamakan hak korban. Pelbagai tantangan muncul saat proses reportase di lapangan. Hal ini terungkap dalam Short Course Daring: Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme yang digelar AIDA akhir Mei lalu.
Dalam kegiatan yang diikuti puluhan jurnalis dari pelbagai media massa di wilayah Sulawesi ini, salah seorang wartawan yang bertugas di Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), memandang adanya penurunan tingkat kepercayaan masyarakat kepada media massa, sehingga kurang terbuka dalam menyampaikan informasi.
Baca juga Perspektif Etis Meliput Terorisme
“Ketika kami datang, kami menghadapi ketakutan-ketakutan masyarakat. Meskipun tak jadi korban langsung, mereka juga merasa trauma sehingga tidak mau menceritakan apa sebenarnya yang terjadi di tempat mereka. Keluarga korban jarang mau bicara pada wartawan karena tingkat kepercayaan mulai turun belakangan ini,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan oleh wartawan lain yang tidak bisa mewawancara keluarga dari empat orang korban serangan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) beberapa waktu lalu. “Saat mereka hadir di Markas Polda Sulteng untuk menerima bantuan, kita tidak diberikan akses untuk peliputan,” katanya.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Pengurus AIDA, Hasibullah Satrawi, mengungkapkan bahwa jurnalisme berperspektif korban tidak harus menghadirkan korbannya secara langsung sebagai narasumber, melainkan bisa melalui orang-orang atau lembaga yang memang selama ini concern terhadap korban terorisme, sehingga mampu memberikan gambaran yang dirasakan oleh korban. Pasalnya korban terorisme dan keluarganya masih harus melalui fase penyembuhan dan pemulihan.
Baca juga Bangkit Demi Masa Depan dan Keluarga
“Bisa jadi liputan terorisme sudah menghadirkan korban, tapi malah tidak berperspektif korban. Korban disorot kamera saat berdarah-darah, diwawancara saat sedang kesakitan, kemudian kita tulis dalam berita kita. Itu justru liputan yang menghadirkan korban tetapi sama sekali tidak berperspektif korban,” ucapnya.
Lebih jauh Hasib berharap para insan jurnalis bisa menghasilkan karya jurnalistik yang bisa berkontribusi untuk perdamaian Indonesia. “Saya harapkan lewat pena teman-teman bisa membangun akhirat, bukan hanya dunia. Agar kita selamat, tidak menjadi korban dan juga pelaku. Lebih besar lagi, agar masyarakat juga selamat, tidak menjadi korban dan pelaku,” katanya memungkasi. [LADW]
Baca juga Menumbuhkan Perspektif Korban pada Jurnalis Sulawesi