Perspektif Etis Meliput Terorisme
Aliansi Indonesia Damai – Hanif Suranto, Pengajar ilmu komunikasi Universitas Multimedia Nusantara Jakarta, mendorong para jurnalis untuk cermat dalam menentukan tujuan meliput peristiwa tertentu, khususnya terorisme. Alih-alih berfokus pada fakta semata, jurnalis harus menimbang dampak pemberitaannya.
Hal ini disampaikannya dalam Short Course Daring Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme yang dihelat AIDA, akhir Mei lalu. Kegiatan diikuti oleh puluhan jurnalis dari pelbagai media massa di kawasan Sulawesi.
Baca juga Bangkit Demi Masa Depan dan Keluarga
Pada awal paparannya, Hanif menunjukkan video tentang pemberitaan aksi terorisme dan meminta peserta menanggapi video tersebut. Beberapa peserta lantas menyampaikan bahwa peliputan aksi terorisme oleh media ada kalanya justru menyenangkan pihak teroris. Media massa seolah justru menjadi corong atas pesan-pesan yang memang ingin disampaikan oleh kelompok teror.
Hanif melanjutkan, peliputan jurnalistik berdampak terhadap publik dan justru bisa menjadi masalah baru. Oleh karenanya, ia mengajak para peserta untuk kembali memaknai perspektif etis secara lebih luas. “Perspektif etis bahwa jurnalisme tidak sekedar melaporkan fakta, tapi untuk tujuan apa fakta dilaporkan. Hal ini menjadi penting, terlebih ketika meliput terorisme,” ujarnya.
Baca juga Menumbuhkan Perspektif Korban pada Jurnalis Sulawesi
Lebih jauh Hanif menjelaskan, karya jurnalistik memang terkait erat dengan subjektivitas dan objektivitas masing-masing jurnalis dan juga perusahaan media. Dalam konteks peliputan terorisme, keduanya harus dikombinasikan agar pemberitaan tidak semata-mata menggambarkan fakta tanpa berpikir atas dampak yang ditimbulkan.
“Jika terorisme dikategorikan sebagai kekerasan, maka tujuan peliputan tidak lain adalah untuk menciptakan kondisi nirkekerasan, agar terjadi perdamaian. Sehingga peliputan dengan subjektivitas negatif yang mengagungkan stereotip bahwa teroris selalu Islam harus dihilangkan,” ujarnya.
Baca juga Meneguhkan Jurnalisme Damai dari Celebes
Hal lain yang sangat penting diperhatikan dalam peliputan terorisme adalah kondisi korban terorisme. Dalam pandangan Hanif, peliputan terkait korban terorisme banyak yang hanya menggambarkan dampak cedera fisiknya. Ia mendorong jurnalis untuk masuk ke dampak psikologis para korban. Selain itu juga melihat agenda dan hak para korban.
“Kita bisa menggunakan agenda terkait kebutuhan-kebutuhan para korban terorisme untuk bahan peliputan media, karena mereka punya hak-hak yang harus dipenuhi juga,” ucapnya.
Baca juga Penyintas Bom Menggugah Nurani Jurnalis
Hanif menutup paparannya dengan mengajak jurnalis untuk terus mengembangkan kualitas tulisan agar bisa menjadi media yang independen, sehingga tidak terlalu bergantung kepada iklan. Hal ini disampaikan untuk menanggapi kekhawatiran jurnalis atas tuntutan perusahaan untuk mencapai rating tertentu yang tidak jarang menyulitkan jurnalis untuk mengedepankan tujuan peliputan.
“Jadi tidak hanya melaporkan fakta tentang korban yang berdarah-darah, kita harus memperhatikan tujuan liputan, sehingga agenda para korban bisa menjadi ruang-ruang dalam liputan. Tidak hanya pada base unit tapi juga melakukan eksplorasi,” tutur Hanif menutup paparannya. [WTR]
Baca juga Tiga Tahun Bom Surabaya: Menyalurkan Inspirasi Ketangguhan