Dendam Tak Mengembalikan yang Hilang
Aliansi Indonesia Damai- “Jika ditanya hukuman yang saya inginkan terhadap para pelaku teror, ditembak pun menurut saya terlalu ringan. Dulu saya berpikir para pelaku harus diserahkan kepada para korban, untuk membalas apa yang diinginkan. Namun, saya sadar bahwa semua itu tidak akan mengembalikan apa pun. Tidak ada gunanya membalas kekerasan kepada mereka.”
Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Nanda Olivia Daniel, penyintas Bom Kuningan 2004, saat menjawab pertanyaan peserta dalam Diskusi dan Bedah Buku La Tay’as: Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya yang dilaksanakan AIDA, Sabtu (02/10/2021). Kegiatan terselenggara atas kerja sama dengan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PWNU Sulawesi Tenggara.
Baca juga Ekstremisme Rentan di Era Pandemi
Dalam paparannya, Nanda berkisah tentang musibah yang menimpanya 17 tahun silam, saat dirinya dalam perjalanan menuju kampus STIE Perbanas, kawasan Kuningan Jakarta Selatan, untuk konsultasi skripsi. Saat hendak turun dari bus kota, terjadi ledakan bom. Akibatnya Nanda mengalami cedera parah. Ia harus menjalani serangkaian operasi untuk pemulihan fisik. Selain itu ia mengalami problem psikis yang cukup panjang.
Usai Nanda berkisah, salah seorang peserta bertanya tentang balasan yang diinginkan oleh Nanda terhadap para pelaku terorisme. Nanda menuturkan, sesaat setelah peristiwa orang tua dan keluarga memberikan dukungan kepadanya agar tidak berkecil hati. Bahkan ia tidak mengalami trauma yang serius.
Baca juga Dialog Mahasiswa UHO Kendari dengan Ahli Terorisme
Namun emosinya mulai berkecamuk ketika ia mendengar kabar bahwa salah satu korban meninggal adalah siswi SMA yang berada tepat di belakangnya saat peristiwa terjadi. “Saya jadi marah dan emosi. Bagaimana kalau saya telat berdiri dan berada di belakang dia, mungkin saya yang akan meninggal,” ujarnya.
Nanda mengaku pernah lama menyimpan amarah dan dendam kepada para pelaku terorisme. Puncak kekesalan terjadi ketika ia dipertemukan dengan Ali Fauzi Manzi, mantan pelaku terorisme yang juga adik dari trio pelaku Bom Bali 2002, sekira tahun 2015. Awalnya, ia merasa optimis pertemuan tersebut tidak akan menjadi persoalan. “Jika tidak suka, maka saya tinggal menjauh dari beliau. Ternyata mendengarkan kisah beliau saat itu justru membuat saya marah,” katanya mengenang.
Baca juga Terorisme bukan Ajaran Islam
Kemarahan tersebut terus muncul selama beberapa bulan. Namun perlahan Nanda menyadari bahwa kemarahannya tidak akan mengembalikan apa pun yang hilang. Memendam amarah justru merugikan dirinya sendiri lantaran harus menjalani hari-hari dengan perasaan mengganjal.
“Akhirnya saya memutuskan untuk memaafkan beliau. Bukan karena siapa-siapa, tapi karena saya merasa memendam rasa marah selama bertahun-tahun membuat pekerjaan menjadi tidak enak. Ada yang mengganjal di hati saya. Saya merasa ini sudah saatnya saya memaafkan beliau,” tuturnya. [WTR]
Baca juga Wawasan Wasathiyah Tangkal Ekstremisme