02/10/2021

Terorisme bukan Ajaran Islam

Aliansi Indonesia Damai- AIDA bekerja sama dengan  Pondok Pesantren An-Nahdlah, Makassar, menggelar Diskusi dan Bedah Buku La Tay’as: Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya secara daring, Minggu (26/9/2021).

Salah satu narasumber kegiatan adalah Bukhari Muslim, Pembina Ponpes An-Nahdlah, yang juga alumni Pelatihan Pembangunan Perdamaian AIDA yang digelar beberapa waktu sebelumnya. Bukhari mengucapkan terima kasih kepada AIDA yang telah memberinya kesempatan mengetahui kisah korban dan mantan pelaku terorisme.

Baca juga Wawasan Wasathiyah Tangkal Ekstremisme

Dalam hematnya, AIDA telah membuat formula metodologis dalam menghadapi permasalahan terorisme melalui kisah korban dan mantan pelaku. Dengan pendekatan ibroh, publik diharapkan mengambil pembelajaran dari kisah dua pihak tersebut.

“Dari situ kita menyadari, ternyata aksi terorisme itu bahaya sekali. Selama ini kita hanya mendengar sekilas jumlah korban dari media, padahal kisah sebenarnya lebih menyentuh,” tutur Bukhari.

Baca juga Imam Besar Istiqlal: Amalkan Al-Qur’an secara Objektif

Ia mengaku sedih ketika mendengar ada korban terorisme yang kehilangan anggota tubuh, mengalami kerusakan organ, hingga kehilangan orang terkasih. Padahal sebagian korban hanya sekadar melintasi lokasi ledakan, lalu terkena dampaknya. Bukhari semakin yakin bahwa aksi terorisme adalah perbuatan yang keliru, merugikan, dan bukan ajaran Islam.

Bukhari berkaca pada sejarah perjuangan Islam. Menurut dia, umat Islam diperbolehkan menggunakan kekerasan hanya dalam keadaan sedang membela diri. Ayat-ayat yang mengandung unsur kekerasan seperti peperangan turun karena Nabi dan sahabatnya mengalami kezaliman yang luar biasa dari kelompok Quraisy yang zalim.

Baca juga Dialog Ulama Sulsel dengan Penyintas Bom Thamrin

“Nabi hendak dibunuh, pengikutnya disiksa, diboikot sampai tiga tahun lamanya. Sehingga mau tidak mau harus melakukan perlawanan,” tuturnya.

Oleh karena itulah Bukhari menekankan pentingnya memahami dalil agama berdasarkan konteks historisnya. Ia mengkritik pihak yang menyalahartikan ayat tertentu untuk melegitimasi aksi-aksi kekerasan. “Al-Qur’an menggunakan kata qaatilu, itu maknanya saling berperang. Beda sama qatala yang artinya membunuh secara sepihak,” katanya menjelaskan.

Ia juga mengutip kisah Nabi Muhammad Saw dalam peristiwa Fathu Makkah. Nabi menaklukkan Makkah tanpa pertumpahan darah. Orang-orang Quraisy yang pernah menyakiti beliau pun dimaafkan. Padahal kalau terobsesi dengan dendam, bisa saja Nabi membalas orang-orang yang telah menyakitinya. “Dari situ terlihat bahwa kekerasan bukanlah sebuah tujuan, tapi langkah awal untuk perdamaian,” ujar Bukhari. [FAH]

Baca juga Penyintas Bom Ajak Ulama Sulsel Bangun Perdamaian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *