30/11/2021

Mencegah Ekstremisme dengan Literasi

Aliansi Indonesia Damai – Penguatan literasi keagamaan dan kebangsaan sangat penting untuk memagari publik dari pengaruh ekstremisme kekerasan. Terlebih jika rujukannya adalah pandangan generasi muslim salaf, maka sangat otoritatif untuk menandingi narasi ekstremisme.

Pendapat ini dikemukakan oleh Mukhtar Khairi, mantan narapidana terorisme, dalam Diskusi dan Bedah Buku La Tay’as: Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya, yang dilaksanakan AIDA bekerja sama dengan MUI Sulawesi Barat dan Penyuluh Agama Islam, pertengahan November ini. Kegiatan dihadiri lebih dari 100 peserta.

Baca juga Dialog Tokoh Agama Sulbar dengan Ahli Jaringan Terorisme

Berdasar pengalaman Mukhtar, literasi yang mumpuni dari generasi muslim salaf cenderung sulit ditolak oleh penganut ekstremisme. Ia mencontohkan pemahaman tentang hubbul wathan (cinta tanah air). Bahwa tugas utama manusia adalah untuk memakmurkan bumi Allah. Ia lantas mengutip perkataan Umar bin Khattab RA:  عَمَّر اللهُ البلدانَ بحب الأوطان.

“Bahwa Allah memakmurkan negeri-negeri yang ada di dunia dengan cara mencintai tanah air. Sedangkan orang-orang takfiri itu benci dengan negara sendiri,” tuturnya.

Baca juga Menangkal Ektremisasi di Medsos

Menurut dia, kontranarasi dengan literasi yang benar akan membantu orang-orang yang terpapar ekstremisme untuk berubah secara perlahan. “Setidaknya jika mereka tidak bisa langsung berubah, mereka akan menjadi lebih tidak ekstrem,” ujarnya.

Lebih jauh Umar menjelaskan, kebencian seseorang terhadap negeri sendiri seringkali dibarengi dengan keinginan untuk menciptakan negara Islam. Hal itu menjadi alasan untuk bergabung dengan kelompok teror dengan dalih berjihad. Padahal ternyata jika dipelajari lebih dalam, berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia tentu sudah diputuskan dengan penuh pertimbangan oleh para tokoh agama terdahulu.

Baca juga Menangkal Ektremisasi di Medsos

Selain dengan literasi tekstual, kontranarasi ekstremisme bisa pula dengan pengalaman langsung dari mantan pelaku terorisme. Dalam pengamatan Mukhtar, kelompok ekstrem kerap menggambarkan pemerintah dan jajaran kepolisian sebagai sosok yang jahat dan patut untuk diperangi. Namun fakta dan pengalaman Mukhtar saat menjalani proses hukum menunjukkan sebaliknya. Pemerintah justru membina para napiter dengan baik, juga mengakomodasi kebutuhannya.

“Mereka yang mengikuti kegiatan pemerintah itu merasa, bahwa sentuhan negara tidak seperti yang dulu dibayangkan. Dan ternyata anggota dari kepolisian juga banyak yang baik dan prihatin dengan kondisi kita yang dulu,” katanya.

Baca juga Menguatkan Dakwah dengan Perspektif Korban dan Pelaku Terorisme

Usai sesi paparan Mukhtar, salah seorang peserta mengaku pernah terlibat dalam pengajian eksklusif. Ia bersyukur karena berhasil lepas dari pengajian tersebut. Ia lantas bertanya langkah dan strategi yang bisa digunakan untuk melindungi keluarga, utamanya perempuan yang akhir-akhir ini di Indonesia marak terlibat secara aktif dalam aksi terorisme.

Menurut Mukhtar, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengetahui secara betul ciri-ciri orang yang sudah terpapar. “Jika memang tiba-tiba ikut pengajian eksklusif dan langsung menganggap pemerintah itu thaghut, maka itu sudah menjadi satu ciri. Langkah selanjutnya adalah social distancing, melindungi diri kita dan keluarga kita agar tidak ikut terpapar,” katanya. [WTR]

Baca juga Ketua Masika ICMI Sulsel: Terorisme Persoalan Bersama

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *