15/08/2024

Dari Terdoktrin hingga Mendoktrin

Bahruddin alias Amir, salah seorang mantan pelaku terorisme yang telah bertobat kembali ke jalan perdamaian. Dahulu selama bertahun-tahun, ia pernah bergelut dalam pemikiran ekstrem dan dunia kekerasan. Sejak masih anak-anak, ia sudah menerima doktrin ekstremisme dan kekerasan dari gurunya di sebuah pesantren Kota Bima, Nusa Tenggara Barat.

Amir sudah terpapar paham ekstrem dan kekerasan sejak duduk di bangku madrasah tsanawiyah (SMP). Doktrin ekstremisme dan kekerasan tersebut disampaikan salah seorang gurunya yang lulusan pondok pesantren yang didirikan Abu Bakar Ba’syir. Menurut Amir, guru tersebut mengajar pelajaran Bahasa Arab namun di sela-sela waktu mengajarnya, ia menyisipkan pemahaman anti-NKRI.

Baca juga “Membaca” Mengubah Mantan Pelaku ke Jalan Perdamaian

“Persis bertepatan dengan kejadian kerusuhan Poso dan Ambon sekitar tahun 1999-2000, beliau menyampaikan ‘tahu gak kalian? Pancasila itu syirik, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu negara kafir’,” ujar Amir menirukan ajaran gurunya di sebuah kegiatan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) beberapa waktu lalu.

Amir mengaku kaget dengan pernyataan gurunya tersebut. Ia semakin kaget dengan pernyataan yang membenturkan landasan negara dengan hukum agama, bahkan kerusakan di negara dianggap karena hukum-hukum yang digunakan di Indonesia tidak sesuai hukum Islam. 

Amir dan rekan-rekannya juga dipertontonkan video-video konflik horizontal bernuansa agama yang terjadi di masa lalu. Video-video tersebut dinarasikan bagaimana umat Islam dibantai. “Inilah kelakuan-kelakuan orang-orang kafir terhadap saudara-saudara kalian,” ucap Amir menirukan ucapan gurunya.

Baca juga Tantangan Kembali ke Jalan Perdamaian

Doktrin-doktrin tersebut ternyata membangkitkan semangat Amir untuk membela saudara Muslim yang dianggap dibantai dan ditindas.

Semakin tinggi jenjang pendidikannya, eskalasi pemikiran ekstrem Amir juga semakin meningkat. Puncaknya ia pergi ke Poso dan bergabung dengan kelompok ekstrem pimpinan Santoso. Di sana, ia ikut latihan militer dan terlibat aktif merekrut orang-orang untuk bergabung dengan kelompok ekstrem di bawah pimpinan Santoso.

Kembali ke Jalan Perdamaian

Pertengahan 2013, Amir ditangkap Densus 88 di Poso dan menjalani hukuman penjara. Lalu pada 2017, ia menghirup udara bebas dari penjara. Namun kebebasannya hanya berlangsung empat bulan saja. Amir ditangkap kembali karena diduga terlibat aksi penembakan polisi di Bima. Ia terlibat karena mendoktrin dengan memberikan motivasi, arahan, dan semangat kepada pelaku untuk melakukan aksi tersebut. Amir pun divonis sepuluh tahun dan menjalani hukuman penjara di Nusakambangan.

Saat menjalani hukuman penjara di Nusakambangan, Amir bertemu narapidana kasus terorisme lainnya yang berasal dari Bima seperti dirinya. Narapidana tersebut telah meninggalkan jalan kekerasan dan ekstremisme. Amir banyak berdialog dan berdiskusi dengan narapidana tersebut.

Baca juga Ali Fauzi; dari Lingkar Kekerasan ke Lingkar Perdamaian

Mereka berdiskusi dan mengkaji kembali rujukan-rujukan kelompok ekstrem. Alhasil, Amir pun mulai mengkritisi bahan bacaan kelompok ekstrem yang mudah mengkafirkan orang lain dan menganggap NKRI sebagai bentuk kesyirikan.

“Saya juga membaca lagi buku-buku dan kitab-kitab keislaman yang diberikan senior dan memeriksa langsung kevalidannya,” ujarnya.

Ia menemukan kesimpulan bahwa apa yang telah dipahaminya selama ini adalah sebuah kekeliruan. Ia pun mencari buku-buku lain untuk mengcounter pemikiran masa lalunya. Kini ia meyakini bentuk dan sistem negara Indonesia bukan kesyirikan. Sebab di negeri ini umat Islam bisa leluasa mempraktikan ajaran agamanya tanpa ada larangan apapun. Kini, Amir pun sudah berikrar setia kepada NKRI.

Baca juga Sepekan Bersama Eks Napiter

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *