22/01/2022

Dialog Siswa MAN 1 Bandar Lampung dengan Mantan Ekstremis

Aliansi Indonesia Damai- AIDA menggelar “Dialog Interaktif Virtual: Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” di MAN 1 Bandar Lampung, Senin (17/01/2022). Kegiatan dimaksudkan untuk menebar nilai-nilai ketangguhan di kalangan generasi muda. 55 siswa berpartisipasi secara daring.

Salah satu narasumber yang hadir yaitu Iswanto, mantan pelaku ekstremisme kekerasan. Iswanto menceritakan kisah perjalanannya dari awal mula terpapar paham ekstremisme hingga bertobat. Setelah menyesali perbuatannya di masa lalu, Iswanto menebusnya dengan aktif mengampanyekan perdamaian kepada khalayak luas.

Baca juga Dialog Siswa SMAN 4 Tasikmalaya dengan Mantan Ekstremis

Seorang siswa bertanya tentang sikap apa yang harus diambil ketika ada teman yang terindikasi paham ekstrem. Menurut Iswanto, orang yang seperti itu seharusnya tidak dijauhi, tetapi harus dirangkul. Karena sejatinya, ia butuh dialog.

“Pertemanan itu tidak akan bisa lepas. Jika ada teman kita yang sudah terindikasi seperti itu, dekati dia, lalu nasehati. Kalau memang kita tidak mampu, ajak dia ke pengajian atau ustaz yang yang bisa memberikan pemahaman kepadanya. Harus kita ajak dialog,” tutur Iswanto.

Baca juga Pesan Ketangguhan Pelajar Serang (Bag. 1)

Siswa lain bertanya, bagaimana cara mengetahui bahwa guru ataupun teman memiliki indikasi terpapar ekstremisme? Pengetahuan itu sebagai bekal kewaspadaan. Iswanto pun menjabarkan ciri-ciri orang yang sudah terpapar paham kekerasan sesuai pengalamannya.

“Pertama kita lihat dari sikap kesehariannya. Yang kedua, ada tidak dia terjun ke aktivitas masyarakat di sekitarnya, sekadar untuk ikut kerja bakti atau kegiatan sosial lainnya. Terus yang ketiga, lihat pola pikirnya. Dari situ akan ketahuan (terpapar atau tidak),” ujar Iswanto.

Baca juga Pesan Ketangguhan Pelajar Serang (Bag. 2)

Keterpaparan seseorang tidak bisa hanya dilihat dari kata-kata atau pengakuannya. Iswanto menceritakan pengalamannya terkait hal ini. Ketika dirinya bertobat, ia tidak koar-koar mengatakan sudah berubah, karena orang tak mudah percaya. “Tapi saya tunjukkan dengan sikap yang baik dan ramah kepada masyarakat. Ada kegiatan sosial, saya ikuti. Dari situ masyarakat menilai kalau saya sudah mendukung perdamaian,” ujar Iswanto.

Pertanyaan lain tentang atribut fisik yang kerap diidentikkan dengan ekstremisme. Siswa tersebut menanyakan mengapa orang yang memakai busana muslim tertentu, seperti cadar dianggap sebagai teroris. Secara bijak, Iswanto menegaskan bahwa ciri-ciri penganut ekstremisme tidak bisa dilihat dari apa yang tampak dari luar. Stereotip terhadap cadar dan busana muslim lainnya adalah imbas dari perbuatan kelompok teror.

Baca juga Dialog Siswa SMAN 1 Manonjaya dengan Penyintas Bom Bali

“Sebenarnya itu imbas dari perbuatan kelompok teror, karena rata-rata mereka memang memakai busana seperti itu. Tapi sekali lagi, itu tidak bisa menjadi tolok ukur. Jangan dilihat apa yang tampak. Yang dilihat itu pola pikirnya, sikapnya, karakternya, kepada siapa dia mengaji, dan kepada siapa dia berteman,” ucap Iswanto tegas. [FAH]

Baca juga Dialog Penyintas Bom Kuningan dengan Siswa SMAN 5 Tasikmalaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *