Menjadi Tangguh di Era Disinformasi
Aliansi Indonesia Damai – Memasuki era 4.0, beragam konten yang menjurus pada informasi palsu, berita bohong, dan hoaks semakin marak ditemukan di media sosial. Jika penggunanya tidak mampu menyerap dengan bijak, maka disinformasi berpotensi merusak kerukunan dan perdamaian masyarakat luas. Untuk itu, generasi muda diharapkan mempunyai ketangguhan sehingga terbebas dari jerat ajakan-ajakan kebencian, bahkan kekerasan di media sosial.
Deputi Direktur AIDA, Laode Arham, dalam acara “Diskusi Interaktif: Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” di SMK PGRI Jatibarang, Indramayu, Senin (14/2/2022), mengatakan, di tengah pandemi Covid-19, ancaman paham dan aksi-aksi kekerasan tak kalah berbahayanya. Tanda-tandanya bisa dilihat dari maraknya informasi palsu (fake news), berita bohong, dan ujaran kebencian (hate speech) yang bertebaran di media sosial.
Baca juga Menumbuhkan Ketangguhan Generasi Muda Indramayu
Menurut Laode, era informasi dan komunikasi tidak hanya memberikan kemudahan dalam penyebaran wawasan dan pengetahuan, tetapi juga menyimpan tantangan dan ancaman. Bila tidak digunakan dengan baik, informasi dapat menjadi disinformasi, dan komunikasi berpotensi menjadi miskomunikasi. “Yang kita hadapi justru seringkali munculnya disinformasi dan miskomunikasi. Artinya informasi yang ada diputarbalikkan, yang benar menjadi salah, yang salah menjadi benar,” ujarnya.
Laode menekankan pentingnya bermedia sosial dengan cerdas. Apalagi gerakan ekstrem juga menggunakan media sosial sebagai media perjuangannya. “Kalau tidak diantisipasi maka ada kelompok tertentu (ekstrem) yang melalui internet mereka menyebarkan paham ekstrem, mengajak orang lain membenci satu sama lain, mengkafirkan, mengatakan yang lain sesat, dan sebagainya,” katanya.
Baca juga Kepala SMAN 1 Kroya Indramayu Ingatkan Persatuan Indonesia
Sebagai contoh, sudah banyak negara-negara di Timur Tengah (Middle East) hancur lebur akibat peperangan, yang salah satu pemicunya adalah disinformasi dan miskomunikasi yang berkembang pesat. “Di Irak, Suriah, Libya, dan negara-negara lainnya. Bahkan di Barat, di Amerika juga menghadapi suasana kebangsaan yang terbelah, ada ekstrem kanan, kelompok sayap kanan yang menebarkan kebencian,” tutur Laode.
Lebih lanjut ia mengajak generasi muda untuk lebih peduli terhadap upaya pembangunan perdamaian di Indonesia. Ia juga berharap generasi muda mampu menggunakan skill dan pengetahuannya untuk pembangunan bangsa, bukan justru untuk kerusakan.
Baca juga Menyemai Perdamaian di Kalangan Pelajar Indramayu
Pada kesempatan itu, siswa-siswi yang terdiri dari beragam latar belakang itu diajak mengambil pembelajaran (ibroh) dari pertobatan mantan pelaku terorisme dan ketangguhan korbannya. Laode berharap kisah-kisah dari kedua belah pihak dapat menjadi inspirasi bagi para pelajar untuk turut terlibat dalam pembangunan perdamaian di Indonesia.
“Teman-teman harus melampaui generasi saya. Minimal kita bisa belajar dari kisah mantan pelaku yang telah insaf, sehingga bisa mengantisipasi tidak timbulnya kembali kekerasan. Kita juga belajar dari korban, bagaimana terpuruk karena terluka dan kehilangan keluarga, tetapi mereka cepat bangkit dan kembali bersemangat melanjutkan kehidupan mereka dan keluarganya,” kata Laode memungkasi sambutan. [AH]
Baca juga Menjaga Perdamaian di Lingkungan Sekolah