07/04/2022

Berdamai dengan Trauma:
Kebangkitan Penyintas Bom Thamrin (Bag. 1)

“Trauma bukan salah saya, tapi sembuh adalah tanggung jawab saya,” ucap Andi Dina Noviana memungkasi kisahnya di hadapan puluhan petugas lembaga pemasyarakatan dari berbagai daerah di Indonesia.

Andi Dina Noviana atau Andin, penyintas Bom Thamrin 2016, menuturkan musibah yang menimpanya dan ikhtiar penyembuhan dirinya,  secara fisik maupun psikis, dalam Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme Bagi Petugas Pemasyarakatan. Kegiatan digelar AIDA bekerja sama dengan Ditjen Pas Kemenkumham pada akhir Maret lalu.

Baca juga Sepenggal Kisah Penyintas Bom Thamrin, Deni Mahieu: Mensyukuri Kesempatan Hidup Kedua

Pagi hari 14 Januari 2016 Andin sedang menikmati sarapan sambil mengerjakan tugas-tugas kantornya di salah satu coffe shop kawasan Jalan MH. Thamrin, Jakarta Pusat.

Dua pekan di awal tahun adalah waktu terpadat di tempatnya bekerja. Maklum Andin menjadi salah satu karyawati agensi digital marketing, sehingga harus mempersiapkan berbagai persiapan promosi untuk memenuhi permintaan client. Padatnya pekerjaan membuatnya diperbolehkan menyelesaikannya dari mana saja.

Perempuan keturunan Bugis tersebut ingat betul, ia baru saja berpindah kursi lantaran colokan listrik di tempat awalnya tidak berfungsi. Namun saat hendak mencolokkan handphone untuk dicas tiba-tiba terjadi ledakan. Saat membuka mata, suasana kacau. Tubuhnya tertimpa plafon.

Baca juga Afirmasi Diri: Kisah yang Menjelma Makna dan Kata-kata

“Saya reflek mengecek tangan saya.Satu, dua, tiga, empat, lima, saya hitung jari-jari saya, masih utuh,” ungkap Andin.

Ia berusaha bangun dengan pemandangan sekitar penuh darah. Banyak orang terluka. Dia berusaha keluar dari restoran lewat jendela yang pecah. Ia menyebut dirinya loncat bagai Spiderman, karena harus melewati tingginya pagar yang kurang lebih 2 meter. Walhasil ia terjatuh saat mendarat. Saat berusaha berdiri lagi, terjadi ledakan susulan dari arah pos polisi, sehingga Andin terjatuh kembali.

“Ngiuuuuungg, telinga saya bunyinya begitu. Saya melihat orang seperti teriak, lari… lari…, tapi nggak dengar suaranya. Duh ini kenapa?” ujar Andin mengenang situasi kritis yang dialaminya.

Baca juga Berdakwah di Era Digital

Ia lantas ditolong secara sukarela oleh sopir taksi yang kebetulan berada di dekat lokasi kejadian. Andin melihat bajunya robek-robek. Tubuhnya penuh darah bercampur dengan debu. “Mirip di film-film,” katanya.

Sopir taksi tersebut mengantarkan Andin dan beberapa korban lainnya ke fasilitas kesehatan terdekat, yaitu rumah sakit bersalin di kawasan Menteng. Beberapa Ibu hamil histeris melihat kondisi Andin dan korban lain yang turun dari taksi.

“Tenang, Mbak, ini lukanya hanya perlu tiga jahitan kok,” ujar Andin mengingat perkataan dokter yang menanganinya. Saat diminta berbaring miring, darah terus mengalir dari badannya. Ternyata tidak sekadat dijahit, namun lebih dari itu, Andin mendapatkan tindakan operasi.

Baca juga Mengenal Simbol-Simbol Perdamaian

Rasa sakit teramat perih harus dirasakan Andin saat dilakukan pembersihan tangannya dari serpihan kaca dan pasir yang melekat di kulit. Menurut dokter, tangan tidak boleh dibius karena banyak saraf.

Sang kakak yang membesuknya di rumah sakit sempat shock melihat sebuah tabung berisi serpihan kaca yang cukup banyak. Kaca-kaca tersebut semua berasal dari tubuh Andin. “Saya ingat diberitahu, tebal serpihan kacanya 3,5 cm,” ucapnya.

Beberapa minggu setelah musibah itu ia sulit berjalan. Bahkan setelah cedera fisiknya sembuh, secara psikis ia masih mengalami trauma yang mendalam hingga harus mengonsumsi obat penenang secara rutin selama kurang lebih delapan bulan lamanya. Dari sekian terapi yang dilakukannya, ia berkesimpulan bahwa obat yang paling ampuh adalah keikhlasan. (bersambung)

Baca juga Membaca Ayat-Ayat Kauniyah Perdamaian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *