Puasa sebagai Emansipasi
Oleh Idi Subandy Ibrahim
Peneliti Budaya, Media, dan Komunikasi
Ramadhan 1443 H (2022 M) menyapa kaum muslim ketika suatu kawasan dunia dilanda perang dan kita perlahan keluar dari pandemi. Ramadhan, bulan kesembilan dalam kalender Islam, selalu dinanti kaum muslim. Membekas amat dalam pada jiwa seorang muslim. Menghidupkan gambar bahagia masa kecil, ketika saat berbuka tak sabar menanti aneka hidangan kesukaan sajian orang tua tercinta.
Transformasi masyarakat menimbulkan tantangan bagi umat beragama. Generasi sekarang menghadapi dunia baru yang cenderung mengambil keuntungan dari apa saja, termasuk nilai dan agama. Terkadang persaingan brutal dan biadab menggelapkan imajinasi manusia akan kebaikan, solidaritas, dan belas kasih. Bencana ekologis, pemanasan global, penggunaan teknologi pemusnah massal, korupsi, kekerasan, terorisme, kriminalitas, perjudian, penggunaan obat terlarang, alkoholisme, pergaulan seks bebas, bayi-bayi tanpa bapak, kemiskinan, aneka penyakit baru, dan merosotnya sopan santun merupakan tantangan setiap agama.
Baca juga Puasa, Mosaik Spiritualitas Luhur
Ramadhan hadir di tengah kemanusiaan global ketika dunia membutuhkan resep untuk berbagai penyakit peradaban tersebut. Puasa adalah salah satu bentuk ibadat paling awal dan paling tersebar di kalangan umat manusia. Tujuan puasa bisa berbeda dari satu umat ke umat lain. Dari sudut medis, puasa telah merevolusi dunia kesehatan di Barat. Ketika berbagai penyakit, mulai dari flu, kegemukan, penuaan, hingga kanker menerapkan puasa rutin sebagai media penyembuhan.
Setiap negeri muslim menampilkan corak ekspresi kerohanian yang kaya selama Ramadhan. Kekhasan bangsa kita dalam menyambut dan menjalaninya berbeda-beda di setiap daerah dan telah menjadi perhatian para ahli yang menunjukkan kekayaan ekspresi budaya Islam Indonesia.
Pada bulan Ramadhan umat Islam menjalankan ibadah wajib puasa, yaitu menahan diri dari terutama makan dan minum serta seks, dari fajar sampai matahari terbenam. Ramadhan disebut bulan suci, yakni bulan penyucian diri manusia dari dosa. Dari sudut spiritual Islam, manusia terlahir dalam kesucian (fitrah). Tetapi, manusia juga makhluk rentan dengan nafsu yang merupakan sumber dorongan untuk berbuat hal-hal bertentangan dengan kesucian kemanusiaan sebagai fitrahnya.
Baca juga Pembangunan dan Perdamaian
Ibadat puasa Ramadhan menjadi bagian penting landasan pemulihan rohani seorang muslim. Bagi yang melaksanakan dengan benar, puasa bisa memengaruhi cara hidup. Sebagai sarana pendidikan moral di waktu kecil bahkan seumur hidup. Lebih dari itu, puasa adalah jalan spiritual manusia untuk melakukan emansipasi. Pembebasan diri dari berbagai ”penjara” batin dan dunia.
Dari sudut komunikasi, puasa mendorong kita berdialog dengan diri sendiri (intrapersonal). Saat-saat ketika kita merasa lapar dan tak berdaya membuat kita berpikir tentang makna hidup, orang-orang yang setiap hari mengalami penderitaan. Perlahan dari hati bersinar rasa cinta dan peduli pada nasib orang lain. Puasa menumbuhkan empati dan membebaskan diri dari penjara egoisme dan apati.
Dari sudut kemanusiaan, puasa membuka mata hati kita, hidup lebih bermakna bila bisa berbagi agar menjadi berkah. Agar curahan kasih sayang Tuhan terus menetes, keran belas kasih kita perlu dibuka untuk orang di bawah, kaum fakir miskin yang membutuhkan. Rumi, penyair sufistik, bersenandung, ”Jika engkau ingin menangis, kasihanilah orang-orang yang bercucuran air mata. Jika engkau mengharapkan kasih, perlihatkanlah kasihmu pada si lemah.”
Baca juga Perjalanan Moralitas yang Terseok
Para ulama selalu menekankan salah satu hikmah puasa ialah penanaman rasa solidaritas. Ibadat puasa selalu disertai dengan anjuran untuk berbuat baik sebanyak-banyaknya. Terutama perbuatan dalam menolong meringankan beban kaum fakir miskin, lewat zakat, sedekah, infak, dan lain-lain. Solidaritas kemanusiaan lintas agama sering muncul dalam berbagai bentuk pada bulan Ramadhan.
Dari sudut ekonomi, puasa mendidik kita menjaga keseimbangan dalam konsumsi. Dalam Religion in Consumer Society, Francois Gauthier dan Tuomas Martikainen mengingatkan liberalisasi dan komersialisasi ranah kehidupan membuat konsumsi menjadi etos dan ranah agama sangat rentan komodifikasi.
Ramadhan bisa menjadi ”bulan konsumtif” bila aneka iklan dan produk industri budaya televisi dan digital dengan kemasan spesial Ramadhan tidak disikapi secara wajar. Pada era media sosial, Ramadhan sejatinya menjadi ajang religiosasi ranah digital dengan menyemarakkan intensitas penggunaan gawai dan media sosial untuk memperkaya rohani. Religiosasi waktu luang pada bulan suci seyogianya meningkat untuk membebaskan diri dari penjara komodifikasi ranah keagamaan.
Baca juga Hukum dan Keadaban Publik
Dari sudut ilmu pengetahuan, Ramadhan adalah bulan pertama kali turun ayat suci Al Quran dengan perintah untuk membaca. Menunjukkan kecintaan pada etos ilmu pengetahuan dan semangat belajar sebagai pembebasan dari zaman kebodohan. Pentingnya membuka wawasan dunia terlihat dari pesan nabi yang menganjurkan agar menimba ilmu bahkan sampai ke negeri China.
Dari sudut moral, puasa bisa merevolusi mental lewat sarana introspeksi diri (muhasabah) dengan jalan pengendalian diri. Kata ”puasa”, diambil dari bahasa Sanksekerta, berarti sama dengan shawm, dari bahasa Arab, yakni pengendalian diri. Ibadat puasa secara intrinsik bertujuan mencapai derajat ketakwaan (QS, 2: 183). Lahirnya kesadaran diri bahwa Tuhan selalu hadir bersama kita, mengawasi, dan melihat semua perbuatan kita.
Dengan demikian, puasa mendidik tanggung jawab pribadi, menjadi latihan sinambung memupuk kesadaran bahwa moral harus ditegakkan dan menjadi kekuatan hidup. Dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, hikmah puasa seyogianya bisa membebaskan negeri ini dari penjara perilaku koruptif dan manipulatif.
Baca juga Kemerosotan Keadaban Publik dan Agama
Ibadat puasa selama sebulan penuh diakhiri dengan Hari Raya Lebaran atau Idul Fitri, yang melambangkan dengan indah saat kembalinya fitrah atau kesucian asal manusia setelah penyucian dari dosa melalui puasa. Pribadi-pribadi yang meraih kemenangan menyandang predikat fitri. Artinya ia kembali kepada kesucian atau kebersihan jiwa atau hati nurani.
Setelah setahun hati nurani terpenjara oleh egoisme, kepentingan diri, kepicikan hati, perilaku tamak dan koruptif, dengan menjalankan ibadat puasa secara benar—tidak sekadar menahan makan dan minum serta semua yang dapat membatalkannya—juga mampu mengendalikan diri dari godaan hawa nafsu, maka hati nurani manusia mendapatkan cahaya untuk mencintai kebajikan. Hati nurani yang telah mengalami emansipasi ini kembali memiliki kepekaan rohani terhadap aturan moral atau akhlak dalam menghadapi berbagai krisis kehidupan.
*Artikel ini terbit di Kompas.id, 2 April 2022
Baca juga Hiperpolitik Demokrasi Digital Kita