28/10/2022

Geng Siswa dan Kekerasan di Sekolah

Oleh: Fuad Ariyanto
Wakil Pemimpin Redaksi Jawa Pos 2007-2008

Seorang gadis belia menyusuri jalan kampung sambil menangis. Di belakangnya, sekelompok siswa berseragam sekolah dasar berteriak mengolok-olok gadis itu. Mereka rame-rame menuduh gadis itu mencuri barang milik siswa lain.

Sampai di rumah, orang tua si gadis kaget menerima kehadiran anaknya dikeler teman-temannya dan segera menenangkannya. Sementara gerombolan siswa itu terus berteriak seperti pendemo di depan gedung dewan. Mereka baru bubar setelah beberapa hansip (keamanan kampung) menghalau para perundung.

Baca juga Meneladani Kenegarawanan Nabi

Peristiwa itu tentu sangat melukai perasaan si gadis, sebut saja namanya Savitri. Malu, marah, dan kecewa menggumpal jadi satu. Perangainya yang biasa ceria berubah murung, pasif, mengurung diri, dan hampir saja tak mau lagi menginjakkan kaki di sekolah. Namun, orang tuanya pelan-pelan berhasil memulihkan kekuatan mental Savitri sampai kembali normal.

Anehnya, pihak sekolah tidak berbuat apa-apa. Seakan tidak terjadi apa-apa. Kejadian itu dianggap sebagai keisengan siswa biasa. Padahal, perbuatan mereka jelas perundungan (bullying) yang sangat berpengaruh pada perkembangan mental korban.

Baca juga Efek Sorotan

Perundungan merupakan salah satu bentuk kekerasan pada anak. Dalam cerita fiksi kriminal, perundungan seperti itu bisa membuat seseorang jadi pembunuh. Traumanya terbawa sampai dewasa, sementara kemampuan intelektualnya tercecer. Suatu saat dendamnya terpicu dan korban perundungan itu pun mencari satu per satu teman sekelas yang pernah merundungnya. Maka, terjadilah pembunuhan berantai. Itu fiksi.

Umumnya, guru, orang tua, dan pendidik lain menerjemahkan kekerasan hanya berupa memukul, menendang, mencakar, menjambak rambut, dan kekerasan fisik lain. Prima Dea Pangestu dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang jadi narasumber pada webinar bertema Sekolah Bebas Kekerasan; Mengenal Bentuk Kekerasan di Sekolah dan Penanganannya, pada 27 Mei 2022, sebagaimana dikutip dari laman dtpsd.kemendikbud.go.id. mengatakan, jenis kekerasan yang paling sering dialami anak usia 13–17 tahun di kota maupun desa adalah kekerasan emosional (psikis). Dari data hasil survei, lanjut Dea, 3 dari 10 anak laki-laki dan 4 dari 10 anak perempuan usia 13–17 tahun di Indonesia pernah mengalami kekerasan.

Baca juga Akhlak Mulia

Direktur Sekolah Dasar Kemendikbud Dra Sri Wahyuni MPd mengatakan, webinar tersebut digelar untuk memberikan edukasi kepada orang tua, guru, dan para pemangku kepentingan tentang bentuk-bentuk kekerasan dan cara mengatasinya. Harus dipastikan bahwa tiap sekolah –utamanya jenjang SD– mampu melaksanakan kegiatan belajar-mengajar dalam situasi kondusif. Lingkungan satuan pendidikan terjaga dengan baik dari kekhawatiran terjadinya kekerasan dan perundungan.

Sri mengingatkan, perundungan merupakan salah satu dosa pendidikan sebagaimana telah ditegaskan Mendikbud. Tiga dosa pendidikan yang harus ditangani serius adalah perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi. Kerja sama yang kompak di lingkungan satuan pendidikan –kepala sekolah, tenaga pendidik, orang tua, dan siswa– menjadi kunci utama pencegahan kekerasan di sekolah.

Baca juga Ki Hadjar dan Engku Syafei, Inspirator Kemerdekaan dari Ruang Kelas

Dra A. Kasandra Putranto, psikolog klinis dan forensik Kasandra Associates, yang juga sebagai narasumber webinar tersebut mengungkapkan, di masa pandemi perundungan yang dialami siswa SD merambat ke ranah online. ’’Artinya, peserta didik lebih rentan mengalami perundungan secara langsung maupun online (daring) ketika mereka banyak berkegiatan dengan gawai,’’ tutur Kasandra.

Plus-Minus Geng Siswa

Kekerasan di sekolah, termasuk perundungan, kadang berkaitan dengan geng siswa. Karakter umum geng siswa adalah show of force, unjuk kekuatan. Kekuatan positif maupun negatif.

Tidak semua geng siswa bersifat negatif. Banyak juga yang positif. Misalnya, geng olahraga, musik, teater, melukis, dan geng-geng yang berkaitan dengan kegiatan kurikuler lain.

Baca juga ”Overthinking”

Geng jenis itu umumnya antikekerasan. Saya pernah bergabung geng jenis ini yang mayoritas beranggota siswa SMP-SMA. Tak pernah sekali pun geng terlibat dalam kekerasan di sekolah. Bahkan, saya mendapatkan istri dari geng itu. Unjuk kekuatan yang dipamerkan geng ini berupa prestasi. Geng itu pernah menjuarai lomba drama tingkat nasional pada 1981 dan memboyong Piala Menteri Agama (waktu itu) Alamsyah Ratu Prawiranegara. Sampai sekarang mantan anggota geng itu masih sering berhubungan dan sesekali bertemu untuk ngobrol.

Tawuran antarpelajar yang berkali-kali terjadi, termasuk belakangan ini, sedikit banyak juga melibatkan geng siswa. Bisa jadi itu salah satu unjuk kekuatan mereka untuk mempertegas eksistensinya. Geng-geng siswa seperti ini kadang “terafiliasi” dengan geng di luar sekolah yang dipimpin preman jalanan atau anak pejabat dengan kawalan kopral sangar.

Baca juga Islam Indonesia Berkelanjutan

Geng-geng jenis ini tak takut menghadapi siapa saja. Termasuk kepala sekolah. Apalagi guru bertubuh kerempeng. Pelototan mata kopral cukup membuatnya gemetar.

Dalam webinar tersebut tidak disebutkan secara khusus cara mengatasi kekerasan geng seperti itu. Namun, orang tua dan pendidik mungkin bisa mencegah terjadinya perilaku agresif peserta didik sebagaimana dijelaskan Kasandra Putranto. Misalnya, dengan memberikan perhatian khusus pada peserta didik yang menunjukkan kemarahan atau kekecewaan berlebihan, mudah tersinggung, tidak mau mengalah, atau tersaingi. Kasandra mengakui, “perilaku seperti itu memang perlu pemahaman cermat oleh orang tua dan guru.”

*Artikel ini terbit di Jawapos.com, Minggu, 23 Oktober 2022

Baca juga Merawat Kebangsaan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *