Ki Hadjar dan Engku Syafei, Inspirator Kemerdekaan dari Ruang Kelas
Oleh: St Sularto
Wartawan Senior
Ki Hadjar Dewantara (1889-1959) dan Engku Mohammad Syafei (1893-1960) adalah dua nama pejuang kemerdekaan dan perintis antitesis praksis pendidikan di zaman penjajahan Belanda—dengan dalih politik etis sekalipun. Dalam praksis pendidikan Tamansiswa yang didirikan Ki Hadjar pada 1922 dan Institut Nasional Syafei (INS) Kayutanam yang didirikan Engku Syafei pada 1926 ditanamkan semangat kebangsaan dan kemerdekaan; sama seperti dilakukan para pejuang kemerdekaan dengan senjata, diplomasi, dan politik.
Ki Hadjar menjabat Menteri Pengajaran yang pertama setelah Indonesia merdeka, Engkau Syafei yang kedua (12 Maret-2 Oktober 1946) dalam Kabinet Syahrir II. Sebelum memasuki medan perjuangan kemerdekaan lewat bidang pendidikan (sekolah), Ki Hadjar berjuang lewat bidang politik (media massa dan partai), sedangkan Engku Syafei setelah menamatkan pendidikan lanjut guru di Belanda atas biaya orang tua angkatnya, Marah Sutan, mengembangkan sekolah sebagai sarana perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Baca juga ”Overthinking”
Pada 2022 ini, dengan pendekatan yang berbeda, jejak Ki Hadjar dengan Tamansiswa, menurut Darmaningtyas, sudah hilang (Kompas, 2/7/2022). Eksistensi pemikiran Ki Hadjar saat ini tidak lagi dipraktikkan di sekolah umum sebab yang mendasari adalah pembenaran pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana, menurut Iwan Pranoto, walaupun masih tersisa rekaan Ki Hadjar (Kompas, 18/7/22).
Sebenarnya kedua tulisan itu bermuara sama: menyayangkan bangsa ini mengidap amnesia (gampang lupa) yang parah karena menggebu-nggebu ikut arus pragmatisme (kegunaan). Warisan dan legacies para pemikir bangsa sendiri dikesampingkan. Padahal, ada pepatah Perancis, l’homme passe mais genie reste (manusia hilang tetapi kegeniusan tetap tinggal).
Baca juga Islam Indonesia Berkelanjutan
Padahal, modernisme ala Barat yang disuarakan Sutan Takdir sebenarnya tidak compatible dengan kepeloporan Ki Hadjar. Inspirasi modernisme=barat yang dibawa Takdir tidak bisa disejajarkan dengan inspirasi kebangsaan dan kemerdekaan yang dibawa Ki Hadjar, Engku Syafei, dan lain-lain lewat ruang kelas. Apalagi, praksis pendidikan Indonesia saat ini ditekankan aspek kegunaan/fungsional. Kebijakan dan praktik pendidikan tercerabut dari kondisi riil budaya Indonesia.
Namun, risalah pendek ini tidak ingin masuk ke sana. Artikel ini hanya bermaksud mengingatkan semakin parahnya amnesia bangsa ini, dalam hal ini ketokohan Ki Hadjar dan Engku Syafei sekaligus mengajak belajar dan mengapresiasi terobosan mereka. Bahwa mereka sejak awal mengonsep dan mempraktikkan semangat kebangsaan dan kemerdekaan lewat sekolah—sekolah (ruang kelas)—sebagai tempat, sarana, dan inspirasi kebangsaan dan kemerdekaan (Inspirasi Kebangsaan dari Ruang Kelas, 2016).
Dari bidang politik ke pendidikan
Soewardi Soeryaningrat sebelum bergelar Ki Hadjar Dewantara dalam usia 40 tahun, lahir 2 Mei 1889, merupakan cucu Paku Alam III. Hari kelahirannya ditabalkan sebagai Hari Pendidikan Nasional tahun 1959. Masa kecil pendidikannya di Pondok Pesantren Kalasan, ELS, Kweesschool (sekolah guru), mundur dan pindah ke Sekolah Kedokteran Stovia–lembaga pendidikan yang di kemudian hari melahirkan tokoh-tokoh kritis dan pejuang kemerdekaan lewat Boedi Oetama.
Baca juga Merawat Kebangsaan
Ia mundur dari Boedi Oetama pada 1910 sebab ada perbedaan di antara rekan-rekannya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Di satu pihak sinkretis kebudayaan di pihak lain lewat aksi politik nasionalistis revolusioner. Bersamaan mundur pula Tjipto Mangunkusumo dan Eduard Douwes Dekker. Mereka bertiga mendirikan Indische Partij (IP) atau Partai Hindia—partai politik pertama dalam sejarah Indonesia, 6 September 1912—di Bandung.
Partai IP bertujuan Indonesia merdeka, karena itu revolusioner-nasionalistis. Meskipun sudah ada perubahan di Pasal 2 untuk pengajuan berbadan hukum, Partai IP tetap ditolak sehingga dicap sebagai partai terlarang yang mengancam kekuasaan kolonial.
Baca juga Otonomi bagi Anak
Kegiatan politik Ki Hadjar adalah wartawan. Dimulai di harian Sedio Tomo di Yogyakarta dan harian Midden Java di Semarang, terakhir di harian De Express yang didirikan Douwes Dekker di Bandung. Senyampang di De Express, Ki Hadjar menjadi anggota Redaksi Harian Kaum Muda, Utusan Hindia, Tjahaja Timur, dan majalah Het Tijdschriift di Bandung di bawah Douwes Dekker.
Sebagai wartawan dan pemimpin IP—partai terlarang—Soewardi memprotes rencana pemerintah penjajah Belanda merayakan 100 tahun kemerdekaan Kerajaan Negeri Belanda. Perayaan itu tidak patut. Selain rakyat jajahan diharuskan merayakan, juga diwajibkan membiayai.
Baca juga Ilusi Media Sosial
Terbentuklah Komite Bumiputera, 8 Juli 1913—sementara perayaan 15 November 1913—disusul pamflet pertama tentang komite. Pamflet kedua, selain iklan pamflet juga artikel Soewardi berjudul ”Als Ik Eens Nederlander was”(”Andai Aku Seorang Belanda”)” dalam De Express. Isinya, tidak pantas rakyat jajahan, termasuk Hindia Belanda, merayakan kemerdekaan penjajahnya.
Belanda marah, merasa dipermalukan. Muncul artikel tandingan H Mulder—tokoh kelompok konservatif—di harian Preanger Bode. Ditanggapi Tjipto Mangunkusumo di De Express dengan judul ”Kracht of Vrees” (”Kekuatan atau Ketakutan”).
Baca juga Tawaf
Belanda semakin meradang. Soewardi, Tjipto, dan Dekker ditangkap dan ditahan. Tjipto dibuang ke Banda Neira, Soewardi ke Bangka, Dekker ke Kupang. Sebagai orang interniran pertama di masa penjajahan Belanda, mereka memilih Belanda sebagai tempat pengasingan.
Di pengasingan, semangat perjuangan kemerdekaan mereka tidak surut. Soewardi yang lima tahun diasingkan (1913-1919) memperdalam pengetahuan dan bakatnya sebagai wartawan. Di saat yang sama, ia mempelajari masalah pendidikan dan pengajaran, dan inilah yang menginspirasi Perguruan Tamansiswa, beberapa tahun setelah bersama Tjipto dan Dekker kembali ke Hindia Belanda tahun 1919. Saat itu, Engku Syafei yang sedang menempuh studi lanjut di sana sering bertemu Ki Hadjar.
Baca juga Hijrah dan Literasi Keagamaan Lintas Budaya
Ki Hadjar serius mempelajari tokoh-tokoh aliran baru pendidikan masa itu yang berpengaruh besar dalam dirinya. Mereka adalah Friedrich Frobel, Maria Montessori, Kerschensteiner, dan Rabindranath Tagore. Ketika itu Engku Syafei yang sedang belajar lanjut sering bertemu Ki Hadjar.
Tagore selain penyair besar dengan karya monumentalnya, Gitanyali, juga pendiri sekolah Shanti Niketan (tempat yang damai) di Bolfur—dengan sistem pesanggrahan di mana guru dan siswa tinggal dalam satu asrama. Sistem ini sering disebut-sebut memengaruhi sistem among Tamansiswa. Perdana Menteri India Javaharlal Nehru pernah berkunjung ke Tamansiswa.
Baca juga Melindungi Anak dari Pornografi dan Narkoba
Dengan berdirinya Tamansiswa yang memulai hari pertama pada 3 Juli 1922, Ki Hadjar mulai mengubah cara memperjuangkan kemerdekaan lewat bidang pendidikan dan pengajaran. Banyak apresiasi diberikan kepada Ki Hadjar, di antaranya UGM memberikan gelar doktor kehormatan (Engku Syafei gelar Dr HC dari IKIP Padang—sekarang Universitas Negeri Padang), apresiasi dari Bung Karno ketika berkunjung ke Tamansiswa 1 Februari 1955, dan gelar Pahlawan Nasional.
Belakangan HAR Tilaar menyebut Ki Hadjar yang pertama kali memperkenalkan pedagogi kritis, sejajar dengan aliran-aliran baru pendidikan di Barat (HAR Tilaar, Sowing the Seed of Freedom. Ki Hadjar Dewantara as A Pioneer of Critical Pedagogy, 2014). Praksis pendidikan Tamansiswa merujuk Pedagogy of the Opressed-nya Paulo Freire, terbit pertama pada 1970.
Baca juga Literasi Digital sebagai Pelindung dari Ancaman Nyata Dunia Maya
Lewat Perguruan Tamansiswa, Ki Hadjar berusaha memadukan pengetahuan dan referensi dari aliran-aliran baru pendidikan Barat dan Timur (India) dengan kebudayaan tradisional Jawa. Ia berusaha membangkitkan kesadaran golongan bumiputra untuk merdeka melalui pendidikan yang humanis-nasionalistis, bersifat anti-penjajahan yang antara lain dalam bentuk tidak menerima subsidi dari penjajah.
Menjadi tuan kecil
INS Kayutanam yang sejak dimulai hari pertama pada 31 Oktober 1926 di Kayutanam kemudian pindah ke Palabihan, merupakan bagian dari perlawanan terhadap penjajah. Engku Syafei menggarap dua sasaran, yaitu patriotisme kepada bangsa Indonesia dan pembentukan warga merdeka yang sanggup berdiri sendiri dan bebas dari ketergantugan kepada orang lain, apalagi kepada penjajah. Kata Engku Syafei kepada para anak didiknya, ”Menjadi tuan kecil lebih berharga daripada menjadi budak besar.”
Lahan pendidikannya di Palabihan di atas tanah 5.500 meter persegi–sekitar 50 kilometer pinggir jalan dari Padang menuju Bukittinggi. Sekolah ini memakai sistem do school yang kreatif. Sebagai sekolah umum, INS menggunakan pekerjaan tangan, kesenian, koperasi, dan olahraga sebagai alat pendidikan.
Baca juga Memperkuat Rekoneksi Damai
Praksis pendidikannya mengembangkan otak (mind), hati (heart), dan tangan (hand); semacam sekolah kerja yang dikembangkan John Dewey di Amerika Serikat, yang ide dasarnya berasal dari pemikiran George Kreschensteiner di Jerman. Seperti halnya Tamansiswa sekolah ini mengalami kemunduran. Kini INS Kayutanam, meskipun sudah berkembang di Solok dan Padangpanjang, di lahan yang sama INS berganti nama menjadi SMA Negeri INS Kayutanam.
Menurut AA Navis, ada lima titik temu praksis pendidikan Ki Hadjar dan Engku Syafei (Filsafat dan Strategi Pendidikan M Sjafei. Ruang Pendidik INS Kayutanam, terbit 1996). Pertama, praksis pendidikan sebagai sarana perjuangan melawan penjajah. Kedua, menolak ordonansi sekolah swasta yang rencananya diberlakukan mulai 1 Oktober 1932.
Baca juga Mencari Kita di Tengah Aku
Ketiga, tanpa mengurangi faktor inteletualitas, Ki Hadjar menekankan nasionalisme dan budaya asli (Jawa) dalam pendidikan, Engku Syafei menekankan kemampuan otak, hati, dan tangan. Keempat, selain dalam hal tujuan pendidikan, mereka memiliki pandangan yang sama tentang status guru atau menurut istilah Ki Hadjar sebagai pamong dan pendidik menurut Engku Syafei. Kelima, anak didik adalah subyek sekaligus pusat perhatian dan kegiatan.
Dalam konteks perjuangan kemerdekaan Indonesia, Tamansiswa dan INS Kayutanam ditempatkan sebagai sarana atau alat perjuangan, selain lewat senjata dan diplomasi. Pendidikan menjadi ”kendaraan” perjuangan politik kemerdekaan Indonesia. Faktor waktu, situasi, dan latar belakang menentukan. Ki Hadjar dan Engku Syafei—kalau boleh disebut juga Willem Iskander (1840-1876) dari Tanobato, Mandailing—yang memperjuangkan martabat guru berkarya jauh sebelum Indonesia merdeka.
Baca juga Pendidikan dan Ketenangan Jiwa
Tamansiswa merupakan lembaga pendidikan pertama yang mengedepankan kekhasan nilai-nilai luhur dan membuka jalan manusia menyadari hak-haknya sebagai buah pembelajaran sebagai interniran selama 9 tahun. INS memberikan penekanan pada karya dengan memiliki keterampilan manusia menjadi bermartabat dan merdeka.
Ditempatkan dalam konteks pendidikan kritis yang diintrodusir Paulo Freire dari Brasil di tahun 1960-an yang menghendaki perubahan sosial, sebenarnya jauh sebelum merdeka, Indonesia lahir praksis pendidikan kritis. Dua di antaranya Tamansiswa dan INS Kayutanam. Karena itu, benar pendapat Tilaar, Ki Hadjar Dewantara adalah Paulo Freire-nya Indonesia.
*Artikel ini terbit di Kompas.ID, Minggu, 2 Oktober 2022