Mazhab Pembinaan versus Mazhab Penjeraan
Oleh: Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan
Mereka yang merasa agamanya dinista memiliki dua pilihan cara untuk menghadapinya. Cara pertama adalah kekerasan ragawi dan cara kedua adalah jalur hukum. Saya pribadi sangat amat tidak setuju terhadap kekerasan ragawi dengan cara main hakim sendiri terhadap mereka yang dianggap menista agama seperti terorisme yang telah dilakukan terhadap kasus kartun Charlie Hebdo di Paris yang terbukti menewaskan 12 orang termasuk dua polisi. Juga cara melukai Salman Rusdhie tidak layak dibenarkan oleh mereka yang tidak biadab.
Ketimbang kekerasan ragawi, secara komparatif saya lebih setuju kepada cara menempuh jalur hukum seperti yang telah dilakukan para ternista agama terhadap para sahabat saya, mulai dari Arswendo Atmowiloto, Permadi, Basuki Tjahaja Purnama, Bumi Yani, sampai yang termutakhir Roy Suryo.
Baca juga Muktamar Muhammadiyah dan Nasionalisme Indonesia
Namun terus terang saya juga merasa prihatin terhadap hukuman penjara yang ditimpakan kepada mereka yang tertuduh menista agama. Dalam merasa prihatin, saya tidak sendirian karena tidak kurang dari Prof Yasonna Laoly sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia juga prihatin terhadap hukuman penjara terhadap mereka yang dianggap menista agama.
Secara alasanologis, Menhukham memiliki dua alasan, yaitu alasan kemanusiaan dan alasan penjara sudah penuh.
Baca juga Politik Identitas Keindonesiaan
Secara kemanusiaan, terasa hukuman penjara tepat bagi para pelaku tindakan kriminal seperti pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, korupsi, namun terasa terlalu berat bagi mereka yang dianggap menista agama. Pada hakikatnya tidak ada manfaat hukuman penjara kecuali dampak penjeraan yang malah rawan menghadirkan dendam di lubuk sanubari terpenjara.
Alasan kedua bahwa penjara sudah terlalu penuh justru lebih realistis sebab dengan para penista dijatuhi hukuman penjara berarti penjara yang sudah penuh malah menjadi makin penuh.
Hukuman kerja sosial
Sebenarnya tersedia cara lain demi tidak melanggar kemanusiaan sambil tidak bikin penjara makin penuh, yaitu hukuman kerja sosial. Alih-alih dihukum penjara, para penista agama dijatuhi hukuman kerja sosial. Misalnya pada masa berlakunya hukuman para tervonis penista agama diwajibkan bekerja con amore atau lebih tepat disebut mengabdi kepada lembaga agama yang dinista.
Baca juga Geng Siswa dan Kekerasan di Sekolah
Hukuman kerja sosial bagi para penista agama juga lebih selaras dengan ajaran utama segenap agama, yaitu bukan kebencian namun kasih sayang sebagai perasaan utama yang mengejawantahkan kemanusiaan. Apalagi pada masa pengabdian itu para penista agama memperoleh kesempatan untuk lebih dekat mengenal agama yang semula dinista sebab belum dikenalnya, selaras makna luhur terkandung pada peribahasa tresno margo kulino alias tak kenal maka tak sayang.
Selain itu secara ekonomis hukuman kerja sosial lebih hemat uang negara ketimbang hukuman penjara di mana negara harus mengeluarkan biaya makan dan minum bagi para penghuni penjara.
Baca juga Meneladani Kenegarawanan Nabi
Menurut Menhukham, sebenarnya RUU KUHP sudah diajukan untuk memperoleh persetujuan DPR. RUU KUHP yang baru mengusung mazhab hukum neoklasik, yaitu pidana untuk perbaikan si penjahat agar bisa kembali ke masyarakat, beda dari KUHP yang menganut mazhab klasik yang menitikberatkan kepada penjeraan. Diharapkan akhir tahun 2022, DPR berkenan menyetujui RUU KUHP tersebut yang akan merupakan bukan hanya reformasi namun juga restorasi hukum di Indonesia tercinta.
Hukuman kerja sosial secara de facto maupun de jure telah terbukti bisa diwujudkan menjadi kenyataan oleh negara-negara yang meletakkan kemanusiaan sebagai mahkota peradaban. Maka Yasonna Laoly selaku Menhukham maupun para pendukung mazhab pembinaan berhak merasa yakin bahwa hukuman kerja sosial pasti bisa diejawantahkan di persada Indonesia yang menjunjung tinggi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab sebagai sila urutan ke dua Pancasila setelah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kalau mau pasti mampu. Jika tidak mampu berarti sekadar akibat tidak mau.
*Artikel ini terbit di Kompas.id, edisi 6 November 2022
Baca juga Efek Sorotan