10/02/2022

Mendorong Peningkatan Rehabilitasi Medis dan Psikologis Korban

Sejak revisi Undang-Undang Antiterorisme diberlakukan, pemenuhan hak-hak korban terorisme oleh negara berjalan semakin baik. Namun implementasi UU 5/2018 tersebut, beserta sejumlah aturan turunannya, bukan tanpa celah.

Salah satu aturan turunan dari UU 5/2018 adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 Tahun 2020 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Pasal 44B ayat (1) PP 35/2020 menjelaskan bahwa korban tindak pidana terorisme masa lalu berhak mendapatkan kompensasi, bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan psikologis.

Baca juga Peringatan Bom Bali: Momentum Penguat Persaudaraan

Korban terorisme masa lalu ialah mereka yang kehilangan nyawa atau terluka baik fisik maupun nonfisik akibat aksi terorisme yang terjadi sebelum UU 5/2018 disahkan. Bicara mengenai praktik pemenuhan hak rehabilitasi medis dan psikologis korban masa lalu, sedikitnya ada dua persoalan penting. Pertama, aspek keadilan, dan kedua, urgensi penyediaan dana abadi untuk korban.

Wajib menjadi kesadaran bersama bahwa korban terorisme hakikatnya berbeda dari korban aksi kriminal pada umumnya. Mereka menderita sebagai “martir negara” lantaran motif pelaku terorisme selalu terkait dengan negara atau kebijakan yang diberlakukan oleh negara.

Baca juga Memastikan Kehadiran Negara bagi Korban

Luka akibat aksi terorisme pun sangat berbeda dibandingkan dengan kejadian lainnya. Sejumlah korban terpaksa membiarkan serpihan bom bersarang di dalam tubuh dengan menanggung risiko benda asing tersebut bisa bermasalah sewaktu-waktu di masa yang tidak dapat ditentukan sepanjang hidupnya. Sebagian lainnya harus mengalami sakit kepala setiap hari, ngilu tulang ketika terkena hawa dingin, gatal luar biasa bila cuaca panas, atau menjalani operasi pengangkatan organ bertahun-tahun setelah aksi teror berlalu.

Belum lagi mereka harus bergelut dengan trauma akibat peristiwa mengerikan yang sempat mengancam keselamatan jiwa raga. Pendek kata, pemberian bantuan rehabilitasi medis dan psikologis korban terorisme harus dilakukan dengan upaya yang luar biasa pula.

Keadilan

Rehabilitasi medis dan psikologis korban terorisme diatur dalam UU No. 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pasal 6 ayat 1 dan 2 UU tersebut menyatakan, korban terorisme berhak mendapatkan bantuan medis dan rehabilitasi psikososial dan psikologis dari negara yang diberikan berdasarkan Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Dalam praktiknya, LPSK menerbitkan “buku hijau” untuk menjamin pembiayaan pengobatan medis dan rehabilitasi psikologis korban terorisme. Mereka yang telah mengantongi “buku hijau” berhak mendapatkan pelayanan medis serta konseling psikologis secara gratis di rumah sakit atau klinik psikologi yang ditunjuk oleh LPSK dalam rentang waktu tertentu.

Baca juga Tantangan Baru Perlindungan Korban Terorisme

Durasi layanan medis dan psikologis dalam “buku hijau” berusia 6 bulan, dan korban dapat memerpanjangnya hingga 4 kali masa layanan, atau maksimal selama 2 tahun. Pembatasan ini diberlakukan mengingat LPSK menggunakan anggaran negara yang juga terbatasi tahun anggaran. Pengecualian diterapkan bagi korban terorisme yang mengalami sakit menahun yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Bagi korban dengan masalah khusus seperti itu, layanan “buku hijau” tak pernah disetop.

Masalah muncul ketika “buku hijau” sangat terbatas masa berlakunya bagi korban. Pengalaman sebagian korban yang tergabung dalam Yayasan Penyintas Indonesia (YPI), selama 2 tahun masa berlaku “buku hijau” mereka tidak merasakan keluhan. Namun, setelahnya ketika korban merasakan sakit, justru “buku hijau” tak bisa lagi mereka gunakan.

Baca juga Menyegerakan Kompensasi Korban Masa Lalu

Sekali lagi harus menjadi kesadaran bersama bahwa luka atau sakit yang diderita korban terorisme sangat unik dan tidak bisa diprediksi. S (39), korban Bom Kuningan 2004, selama ini merasa telah sehat dan tidak memanfaatkan layanan “buku hijau” lantaran memang tidak merasakan sakit. Beberapa tahun berikutnya setelah “buku hijau” yang dipegangnya kadaluwarsa, dia merasakan sakit dan memerlukan pengobatan. Maka jadilah “buku hijau” kehilangan kesaktian dan kemanfaatannya justru ketika korban membutuhkannya.

Tanpa mengurangi kebermanfaatan “buku hijau” bagi para korban yang memang menggunakannya sesuai masa berlakunya, negara wajib memenuhi rasa keadilan korban agar celah ini dapat diperbaiki ke depan.

Baca juga Mengawal Implementasi PP Hak Korban

Terkait wacana transisi layanan “buku hijau” korban terorisme dari LPSK ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, gagasan ini harus ditinjau ulang. Hal ini merupakan kemunduran, sebab penanganan korban terorisme membutuhkan kebijakan afirmatif.

Terlebih Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan Pasal 52 ayat (1) huruf r menyatakan, salah satu pelayanan yang tidak dijamin oleh BPJS Kesehatan adalah pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang. Bila layanan medis korban terorisme dipindahkan ke mekanisme BPJS Kesehatan, maka kebijakan ini akan melanggar Perpres 82/2018 seperti yang telah disebutkan.

Dana abadi

Dalam konteks itu pula, signifikansi penyediaan dana abadi korban terorisme (Trust Fund for Victims/TFV) mengemuka. Negara dapat mengalokasikan anggaran yang terbebas dari batas waktu untuk melindungi korban terorisme. Ketersediaan dana abadi selain menjadi bentuk tanggung jawab negara untuk melindungi segenap warganya yang terjatuh sebagai korban terorisme, juga merupakan jalan penyelesaian terhadap persoalan kemungkinan ketidakadilan dalam implementasi “buku hijau” seperti yang dituangkan di atas.

Gagasan dana abadi korban sebenarnya telah muncul dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 7 Tahun 2021 Tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024 (RAN PE). Sayangnya, konsep dana abadi yang tertuang sebagai Lampiran Perpres RAN PE Fokus III No. 2 tersebut diarahkan untuk mendukung pemenuhan hak kompensasi korban guna mendukung upaya PE (pencegahan dan penanggulangan ekstremisme).

Baca juga Mendorong Terobosan Pemenuhan Hak Korban Lama

Dana abadi korban terorisme semestinya bersifat universal, disediakan sebagai bagian dari pelindungan terhadap mereka, dan tidak terbatas pada pemberian kompensasi serta tidak selayaknya dikaitkan dengan program atau agenda negara lainnya. Hakikatnya, pelindungan korban terorisme dan pemenuhan hak-hak konstitusional mereka wajib dilaksanakan oleh negara sesegera mungkin sejak mereka terjatuh menjadi korban.

Jauh sebelum proses hukum berjalan terhadap pelaku, pun jauh sebelum muncul kebutuhan negara untuk mencegah dan menanggulangi ekstremisme, korban telah menderita dan mengalami kerugian sejak aksi teror terjadi.

Ke depan segenap pihak terkait seyogianya mendorong pemerintah dan parlemen agar segera menyusun regulasi yang mengatur alokasi anggaran abadi pelindungan korban terorisme.

Baca juga Kompensasi dalam Etika Keadilan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *