Memahami Perundungan
Fenomena perundungan dengan kekerasan sangat marak terjadi, tak terkecuali di lingkungan lembaga pendidikan formal. Hal ini tentu memprihatinkan mengingat sekolah diidealisasikan sebagai ruang pembentukan karakter anak-anak didiknya. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bahkan menetapkan perundungan sebagai salah satu dari tiga dosa besar di dunia pendidikan, selain kekerasan seksual dan intoleransi.
Melansir dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, perundungan atau bullying merupakan segala bentuk penindasan atau kekerasan yang dilakukan dengan sengaja oleh satu atau sekelompok orang yang lebih kuat atau berkuasa terhadap orang lain, dengan tujuan untuk menyakiti dan dilakukan secara terus menerus.
Baca juga Peace Food sebagai Upaya Perdamaian
Banyak upaya dilakukan, baik oleh pemerintah maupun kelompok masyarakat sipil untuk meminimalisasi perundungan. Kemendikbud menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 82 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Regulasi tersebut mewajibkan sekolah untuk bersinergi dengan pelbagai pihak, yaitu pemerintah daerah, ahli pendidikan, ahli psikologi, organisasi keagamaan, dan orang tua murid untuk mencegah dan menanggulangi aksi perundungan di lingkungan satuan pendidikan.
Baca juga Medsos untuk Perdamaian
Fenomena perundungan tentu sangat meresahkan bagi siapa pun. Untuk mencegah perundungan, seyogianya kita memahami faktor-faktor yang membuat individu bisa menyakiti orang lain agar bisa menentukan strategi yang tepat dan relevan dalam menanggulangi problem ini.
– Faktor keluarga
Anak-anak yang kerap mendapatkan perlakuan kekerasan, baik secara verbal maupun fisik, di lingkungan keluarga sangat rentan membentuk karakter yang keras dan kasar. Karena itu membangun bonding kepada anak sangatlah penting. Ketika anak mendapatkan kasih sayang yang cukup dan edukasi dari orang tua untuk menghindari perilaku negatif, itu sangat membantu anak dalam masa tumbuh kembangnya.
– Pernah menjadi korban
Banyak anak yang dulunya menjadi korban kekerasan, baik di lingkup keluarga maupun lingkungan pergaulannya, malah menjadi seorang pelaku di kemudian hari. Anak-anak mungkin berpikir untuk lebih baik menyerang atau mem-bully terlebih dahulu daripada mereka yang terkena bully.
Baca juga Praktik-Praktik Jihad
– Lingkungan sekolah
Sekolah adalah tempat bagi anak untuk membentuk karakter pada dirinya. Jika lingkungan sekolahnya buruk maka pembentukan karakter pada anak pun akan bermasalah. Contohnya adalah kegiatan perpeloncoan turun-temurun yang terkadang dilakukan kakak kelas kepada yuniornya, sehingga menjadi kebiasaan. Sangat penting bagi pengelola sekolah memerhatikan aktivitas siswa dan siswinya selama jam kegiatan belajar mengajar. .
– Media Sosial
Konten dalam medsos juga sangat berpengaruh bagi psikologi anak. Mereka yang rutin mengonsumsi konten kekerasan rentan berpikir bahwa aksi tersebut adalah kewajaran tanpa memikirkan dampaknya, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Baca juga Tips Bangkit dari Keterpurukan
Dari faktor-faktor di atas kita bisa belajar bahwa memilih lingkaran pergaulan, membangun keluarga dengan penuh kasih sayang, tidak membalas kekerasan dengan kekerasan, dan memilih atau memfilter informasi yang kita dapat adalah hal yang sangat penting.
Perundungan harus dikikis dari dunia pendidikan karena sangat besar dampaknya bagi generasi penerus bangsa. Marilah kita melawan perundungan dengan kasih saya demi menciptakan perdamaian di lingkungan kita dan menyebar ke seluruh bumi pertiwi.
Baca juga Menghindari Marah kala Puasa