25/01/2024

Keadilan untuk Semua

Oleh: Luthfi Assyaukanie,
Dosen Hubungan Internasional, Universitas Paramadina, Jakarta

Keadilan adalah kata yang mudah diucapkan, tetapi susah untuk diterapkan. Kesulitannya bukan karena orang menolak berlaku adil, melainkan karena konsep keadilan tidak semudah yang kita bayangkan. Ia menyimpan beragam makna. Apa yang orang anggap adil, belum tentu dianggap adil oleh yang lainnya.

Misalnya, jika pemerintah menggelontorkan bantuan sosial (bansos) kepada rakyat miskin, apakah itu adil? Bagi orang-orang kaya yang uangnya berlebih, mungkin itu dianggap adil. Akan tetapi, bagi kelas menengah bawah, yang pendapatannya pas-pasan, tidak miskin dan tidak kaya, bansos adalah sebuah ketidakadilan.

Baca juga Beragama Maslahat

Beberapa kali Kompas memuat tulisan tentang pembagian bansos dan masalah keadilan. Memberikan bantuan kepada warga miskin sambil mengabaikan hak-hak kelas sosial di atasnya bukan hanya tidak adil, melainkan juga bisa memicu persoalan. Tulisan M Chatib Basri (Kompas, 20/10/2023) secara gamblang menjelaskan betapa pembagian kekayaan yang tidak adil bisa memantik kerusuhan sosial.

Mantan Menteri Keuangan itu memberi contoh Chile, sebagai negara yang secara ekonomi maju, tetapi mengabaikan warga kelas menengahnya yang tak tersentuh program bantuan sosial. Pada 2019 Chile mengalami kerusuhan hebat, yang dipicu, salah satunya, oleh kebijakan yang salah dalam menerapkan keadilan.

Baca juga Bagaimana Menangani Perundungan Anak

Karena itulah, para filsuf dan intelektual sepanjang sejarah berdebat tentang apa itu keadilan. Sekitar 2.400 tahun silam, Socrates mendefinisikan keadilan sebagai kebajikan. Adil bukan hanya tentang perbuatan bijak seseorang, melainkan juga perbuatan dengan kesadaran bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah kebaikan.

Pandangan Socrates itu disebut ”etika eudaimonia”. Selama beberapa abad, aliran Eudaimonisme mendominasi filsafat moral. Pada era keemasan Islam (abad ke-9 hingga ke-12), aliran ini dianut hampir seluruh filsuf Muslim. Juga oleh sebagian filsuf Kristen di Eropa selama abad pertengahan.

Dua aliran

Di era modern, filsafat moral yang sebelumnya membahas perilaku individu bertransformasi menjadi pembahasan tentang perilaku negara.

Dilema-dilema moral yang didiskusikan bukan lagi—atau bukan hanya—tentang keputusan seseorang untuk dirinya, melainkan bagaimana keputusan itu berdampak bagi orang banyak.

Baca juga Titik Buta Kekerasan di Sekolah

Ada banyak aliran filsafat moral yang berkembang sejak awal era modern. Namun, ada dua yang dominan, yang sampai sekarang terus jadi panduan bagi para pembuat kebijakan. Yang pertama, Utilitarianisme. Yang kedua, Kontraktualisme.

Utilitarianisme lahir pada akhir abad ke-18, di tengah kehidupan aristokrasi Inggris. Kita harus berterima kasih kepada Jeremy Bentham (1748-1832), orang yang mendirikan aliran ini. Tanpa dia, kita tak mempunyai argumen berhadapan dengan para raja dan kaum bangsawan.

Baca juga Polarisasi dan Pentingnya Akal Sehat

Paradigma manusia sebelum abad ke-19 adalah bahwa raja dan para elite penguasa berwenang menentukan siapa yang mempunyai hak dan siapa yang tidak. Rakyat pada umumnya tidak dilibatkan. Tentu saja, karena mereka yang mengatur, urusan keadilan menjadi sangat bias.

Jika penguasa dan para bangsawan memiliki harta yang banyak, tanah yang luas, serta kehidupan yang sejahtera, itu dianggap sah dan adil. Rakyat kebanyakan harus menerima.

Baca juga Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

Bentham mengkritik paradigma itu dan datang dengan pandangan baru. Keadilan adalah kegunaan. Sesuatu dianggap bermanfaat jika ia berguna. Semakin besar kegunaannya bagi orang banyak, semakin baik keberadaannya. Dalam bahasanya sendiri: the greatest happiness of the greatest number of people.

Ajaran Bentham diperjuangkan oleh murid dan para pengikutnya. Salah satunya, John Stuart Mill (1806-1873), yang membuat Utilitarianisme menjadi aliran yang sangat berpengaruh di Eropa.

Baca juga Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

Boleh dibilang, sebagian besar kebijakan publik negara-negara Eropa abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20 bertopang pada etika utilitarian.

Tanpa kita sadari, kebijakan publik di Indonesia umumnya juga berdasarkan pada etika ini. Setiap kali pemerintah mengambil keputusan, yang ada di kepala adalah seberapa bermanfaat kebijakan ini buat orang banyak? Seberapa besar jumlah masyarakat yang bisa disenangkan? Jika hanya menyasar segelintir orang, abaikan saja.

Baca juga Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

Sepintas tampak adil. Sebuah kebijakan memang harus menyasar sebanyak mungkin orang. Ia tidak boleh bermanfaat hanya untuk segelintir masyarakat.

Dalam praktiknya, kebijakan-kebijakan utilitarian sering kali melupakan segmen tertentu di masyarakat. Umumnya bukan kelas mampu, melainkan justru orang-orang rentan. Karena jumlah mereka sedikit alias minoritas, mereka kerap diabaikan.

Tabir ketidaktahuan

Itulah problem yang melatarbelakangi lahirnya Kontraktualisme. Pendirinya, John Rawls, adalah seorang filsuf asal Amerika yang mengagumi John Locke dan Jean-Jacques Rousseau, dua filsuf yang memperkenalkan konsep ”kontrak sosial”. Istilah ”kontraktualisme” sedikit-banyak berutang kepada Locke dan Rousseau.

Sebuah kebijakan dianggap adil bukan karena ia memberikan dampak bagi orang banyak, melainkan karena ada kesepakatan yang rasional. Kesepakatan ini dibangun berdasarkan posisi di mana manusia tak memiliki bias atau asumsi-asumsi yang akan memengaruhi keputusannya. Rawls menyebutnya ”tabir ketidaktahuan”.

Baca juga Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

Ada dua prinsip yang harus dipegang dalam mengambil sebuah keputusan. Pertama, prinsip kebebasan atau kesamaan hak. Tidak peduli apa agamanya, etnisnya, dan kelas sosialnya, semua orang harus diperlakukan sama.

Kedua, prinsip perbedaan. Secara alamiah, manusia berbeda, baik dalam hal bakat, kesempatan, maupun kondisi sosial. Ketidaksetaraan ekonomi adalah hal yang tidak terhindarkan. Oleh karena itu, sebuah kebijakan harus memihak kepada kelompok yang paling tidak beruntung.

Baca juga Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

Sejak Rawls menerbitkan bukunya, A Theory of Justice (1971), semakin banyak penyelenggara negara dan pembuat kebijakan mempertimbangkan aspek kontraktual. Mereka tak lagi terpaku pada diktum ”the greatest happiness of the greatest number of people”.

Maka, seorang gubernur di Hokkaido, Jepang, pernah memutuskan untuk tetap mengoperasikan sebuah kereta demi melayani seorang siswa—tak ada penumpang lain—hingga dia lulus dari sekolahnya pada 2016. Jika sang gubernur menggunakan etika utilitarian, sudah pasti dia akan menutup jalur kereta itu.

Ada banyak keputusan di Indonesia yang tidak berpijak pada etika keadilan. Berapa banyak pulau atau wilayah di Indonesia yang tidak memiliki listrik, air bersih, dan jalan yang layak? Kesenjangan di Indonesia umumnya dibuat karena mengabaikan aspek keadilan yang paling sublim ini: keberpihakan kepada yang paling tidak beruntung.

*Artikel ini terbit di Kompas.id, Selasa 16 Januari 2024

Baca juga Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *