19/12/2023

Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

Oleh: Antonius PS Wibowo,
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban-LPSK

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa sepertiga perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual. Kampanye Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (HAKTPA) tahun ini harus mampu membangkitkan kembali komitmen mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, dengan program yang komprehensif dari hulu hingga hilir.

Program di hulu

Pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak (KTPA) merupakan program di hulu yang harus dilakukan. Kita sepakat bahwa mencegah KTPA lebih baik daripada menindak pelaku dan mengobati-memulihkan korban. UN Women, entitas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang didedikasikan untuk penguatan persamaan jender dan pemberdayaan perempuan menyatakan bahwa prevention is still the most cost-effective, long-term way to stop violence (pencegahan masih merupakan cara yang paling hemat biaya dan berdampak jangka panjang menghentikan kekerasan).

Kita dapat mencontoh UN Women dalam melaksanakan program pencegahan KTPA, yaitu dengan memilih fokus pencegahan melalui program pada bidang pendidikan, membudayakan praktik relasi yang saling menghormati antara laki-laki dan perempuan, dan bekerja sama dengan kaum laki-laki, terutama melalui kerja sama dengan media, industri olahraga, dan dunia kerja.

Baca juga Kenapa Orangtua Menganiaya Anaknya?

UN Women telah mengembangkan sebuah kurikulum ”Voices Against Violence” yang ditujukan bagi mereka yang berusia 5–25 tahun. Ini adalah kurikulum program pendidikan nonformal bagi anak-anak dan remaja untuk membantu menghentikan kekerasan terhadap anak perempuan dan remaja putri. Kurikulum ini mencakup alat-alat untuk membantu kaum muda memahami akar penyebab kekerasan di komunitas mereka, dan untuk membantu mendidik dan melibatkan komunitas mereka dalam mencegah KTPA.

Kurikulum tersebut layak diadopsi dan diterapkan di semua jenjang pendidikan di Tanah Air, yaitu dijadikan substansi dari modul, kebijakan, dan pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan di perguruan tinggi (vide Bab II, Pasal 6-9, Permendikbudristek No 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi).

Baca juga Perluas Hak Korban dalam Proses Peradilan Pidana

Ini implementasinya menjadi tugas Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di perguruan tinggi. Pembentukan dan pemberdayaan satgas ini perlu terus digalakkan. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah menandatangani komitmen dengan Satgas PPKS pada 20 perguruan tinggi di DIY untuk membentuk forum/networking guna mengoptimalkan pemberdayaan satgas.

Kurikulum tersebut juga layak diadopsi menjadi substansi kebijakan dan program pencegahan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan non-perguruan tinggi (Pasal 24-38 Permendikbudristek No 46/2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan). Implementasinya menjadi tugas Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) tingkat satuan pendidikan dan satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan tingkat pemerintah daerah, yang pembentukan dan pemberdayaannya perlu terus digalakkan.

Baca juga Rekayasa Media Sosial yang Meresahkan

Program pencegahan KTPA di perguruan tinggi dan lingkungan satuan pendidikan adalah strategis karena dapat menjangkau jutaan peserta didik, mahasiswa, dan murid kelas 1-12. Berdasarkan data Kemendikbudristek, jumlah mahasiswa di Indonesia sebanyak lebih kurang 9,32 juta orang pada 2022. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ada lebih kurang 44,19 juta murid di Indonesia pada 2022/2023, yang meliputi murid SD, SMP, SMA, dan SMK. Untuk menjamin keberhasilan pencegahan KTPA, maka program pencegahan KTPA perlu dilakukan secara merata untuk semua peserta didik dan dilakukan secara kontinu.

Program di antara hulu dan hilir

Program di antara hulu dan hilir berupa penindakan terhadap pelaku KTPA yang perlu dilakukan secara cepat dan berdasarkan undang-undang. Ini sesungguhnya dapat meliputi penindakan berdasarkan hukum pidana, hukum administrasi dan/atau etik. UN Women memberi warning bahwa masih terdapat tantangan dalam menegakkan undang-undang tentang KTPA, yaitu ketika kekerasan terjadi, sering kali pelaku kekerasan tidak mendapat hukuman.

Di Indonesia terdapat sejumlah undang-undang tentang KTPA, antara lain UU No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), UU No 35/2014 jo UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA), UU No 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Berdasarkan pengalaman LPSK melindungi korban kekerasan, terdapat sejumlah praktik baik yang layak direplikasi untuk memastikan berjalannya penindakan terhadap pelaku KTPA.

Baca juga Perspektif Korban untuk Dialog Damai Israel-Palestina

Pertama, pendampingan terhadap korban dilakukan segera dan sepanjang berjalannya proses hukum. Korban yang didampingi menjadi semakin berdaya, dan kesaksiannya merupakan alat bukti untuk menindak pelaku.

Kedua, terdapatnya dukungan keluarga dan/atau masyarakat sipil. Dukungan keluarga perlu terus digalakkan melalui kampanye publik untuk mereduksi masih adanya permisivisme keluarga terhadap kekerasan. Dukungan masyarakat sipil dari kalangan akademisi lewat amicus curiae (sahabat pengadilan) diperlukan untuk mencegah/mengurangi impunitas pelaku kekerasan, utamanya yang memegang kekuasaan publik.

Baca juga Menjadi Guru yang Humanis

Ketiga, perspektif aparat penegak hukum yang tepat terhadap korban kekerasan. Untuk meningkatkan dan mengasah perspektif ini, perlu terus dilakukan pelatihan dan atau sharing sesama aparat penegah hukum.

Program di hilir

Mengobati dan memulihkan korban KTPA merupakan program di hilir yang wajib dilakukan. Mengobati dan memulihkan korban KTPA sesungguhnya membutuhkan biaya berkelanjutan yang dalam perkara tertentu jumlahnya tidak sedikit.

Contohnya adalah biaya pengobatan dan pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atas nama SK yang pelakunya divonis bersalah di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Juli 2023. Biaya itu tergambar dari nilai restitusi yang dihitung LPSK, yaitu lebih dari Rp 250 juta.

Baca juga Mitos Literasi dan Kemalasan

Contoh lainnya adalah biaya pengobatan dan pemulihan korban kekerasan yang dilakukan Mario Dandy, yang tergambar dalam nilai restitusinya sebesar Rp 25 miliar. Pada perkara ini, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah menguatkan putusan PN Jakarta Selatan dan menetapkan restitusi diperlukan untuk jaminan perawatan dan penopang kebutuhan hidup menghadapi ketidakpastian pulihnya kesehatan korban.

Apa yang dilakukan Mario Dandy dan majikan SK adalah kekerasan yang bukan kekerasan seksual (tindak pidana kekerasan seksual/TPKS). Pada TPKS, ke depan, biaya pengobatan dan pemulihan korban dapat dibebankan kepada dana bantuan korban (DBK). Maka, pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah DBK perlu segera diselesaikan. DBK adalah dana kompensasi negara kepada korban TPKS, yang dimanfaatkan untuk pemberian restitusi kurang bayar dan layanan pemulihan.

Baca juga Tentang Literasi

Finalisasi perubahan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan juga perlu disegerakan karena Pasal 52 Ayat (1) huruf r dari perpres tersebut tidak menjamin pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, serta tindak pidana perdagangan orang dan terorisme. Konsekuensinya, perempuan dan anak korban kekerasan tidak dijamin layanan kesehatan oleh perpres tersebut. Artinya, korban harus membayar sendiri biaya pengobatannya.

Penyelenggaraan pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan perlu diwujudkan di tingkat pusat dan daerah. Terkait TPKS, amanat tersebut sudah ditulis dalam Pasal 72-78 UU No 12/2022 tentang TPKS.

Baca juga Menggunakan Teknologi AI bagi Kemanusiaan

Saatnya pelayanan terpadu tersebut direplikasi dan diwujudkan untuk pelayanan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan selain TPKS. Untuk itu, semua instansi yang diberi mandat melakukan pelayanan terpadu perlu memperbarui komitmennya dan memberdayakan dirinya dalam melakukan pelayanan terpadu.

Program komprehensif dari hulu ke hilir mengakhiri KTPA sudah waktunya dijadikan prioritas semua pihak karena jumlah korbannya sudah sangat banyak dan terus bertambah. Berdasarkan data di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kasus kekerasan di Indonesia dalam kurun waktu lima tahun terakhir cenderung meningkat dari 20.530 (2019) menjadi 24.103 (2023). Dan, mengakhiri KTPA sangat layak dijadikan program unggulan capres-cawapres dan caleg 2024-2029 karena didambakan rakyat yang menjadi korban kekerasan.

*Artikel ini terbit di Kompas.id, Minggu 10 Desember 2023

Baca juga Integritas Santri dan Mandat Keadaban Publik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *