“Kita Harus Lebih Kritis dan Tidak Mudah Terpengaruh”
Aliansi Indonesia Damai- AIDA menyelenggarakan safari kampanye perdamaian di kalangan mahasiswa di Bandar Lampung pada akhir November 2023. Dalam satu kesempatan, AIDA menggelar Diskusi “Mengukuhkan Peran Mahasiswa dalam Membangun Perdamaian” di Universitas Muhammadiyah Lampung (UML) bekerja sama dengan Fakultas Psikologi UML. Dalam kegiatan tersebut, mahasiswa UML, alumni Pelatihan Pembangunan Perdamaian di Kalangan Mahasiswa yang diselenggarakan AIDA sebelumnya, mengajak rekan-rekan sebayanya untuk menguatkan budaya berpikir kritis dalam menyikapi kehidupan di era keterbukaan informasi.
“Kita harus bisa lebih mengerti mana-mana yang bisa kita ikuti dan mana yang harus kita tinggalkan. Kita harus lebih kritis dan tidak mudah terpengaruh.” Demikian Siti Sholeha Alfi Mulhamah, mahasiswi Fakultas Psikologi UML, alumni Pelatihan AIDA, berpesan dalam acara yang dihadiri lebih dari 80 mahasiswa tersebut.
Baca juga Mahasiswa UML Belajar Resiliensi dari Kisah Penyintas
Alfi mengatakan hal itu dengan berkaca dari pengalamannya bertemu langsung dengan mantan pelaku terorisme dalam kegiatan AIDA sebelumnya. Pengakuan sejumlah mantan pelaku, katanya, mereka terpapar paham kekerasan dari doktrin yang ditekankan oleh guru atau senior mereka, tanpa mampu untuk menangkalnya.
Dalam gagasan Alfi, mahasiswa adalah kaum terpelajar yang menjadi tumpuan kemajuan dan kemakmuran bangsa di masa depan. Kritisisme adalah perangkat wajib atau keterampilan asasi yang mestinya dimiliki setiap mahasiswa. Segala informasi yang ada harus senantiasa disaring dari muatan yang berpotensi menjerumuskan. Ia menyoroti beberapa kasus di mana mahasiswa ditangkap aparat karena dugaan tindak pidana terorisme sebagai fenomena anomali.
Baca juga Salah Cara Membela Saudara
Memang tak bisa dimungkiri, lanjutnya, bahwa paham kekerasan seperti terorisme bisa menjangkiti siapa saja. Namun, dengan membiasakan cara berpikir kritis, mahasiswa bisa terbentengi dari ancaman pengaruh paham kekerasan.
Ditambah lagi dengan belajar dari apa yang dialami para korban terorisme, Alfi menjelaskan, mahasiswa akan semakin tangguh dalam menolak ajakan yang mengarah pada kekerasan. Dampak aksi teror terhadap korban, kata dia, sangat banyak. Tak terbatas pada dampak fisik seperti luka atau kondisi kecacatan, tetapi juga dampak nonfisik yang berlangsung sangat lama bahkan seumur hidup. Ia mencontohkan pengalaman Sudirman, korban Bom Kuningan 2004, dan Nyoman Rencini, korban Bom Bali 2002, yang pernah ditemuinya secara langsung dalam kegiatan AIDA sebelumnya.
Baca juga Menjadi Pemimpin yang Islami
Penderitaan fisik yang teramat parah dialami Sudirman. Sekujur tubuhnya tertembus serpihan benda asing akibat ledakan bom. Salah satu bola matanya terpaksa diangkat lantaran rusak terdampak ledakan besar itu. Sampai saat ini bahkan dirinya diharuskan minum obat untuk menstimulasi saraf-saraf tubuhnya agar tetap berfungsi.
“Dampak lain yang juga dialami korban adalah dari sisi sosial ekonomi. Seperti yang dialami korban Bom Bali, Ibu Rencini. Beliau kehilangan tulang punggung keluarga dari bom itu, sehingga terpaksa harus membanting tulang mencari nafkah dengan berjualan dari pagi sampai malam demi menghidupi anak-anaknya yang masih kecil,” katanya.
Baca juga Membangun Damai dengan Akhlak
Dari itu Alfi mendorong koleganya sesama mahasiswa untuk semakin peduli dengan kondisi perdamaian di lingkungan sekitar. Belajar dari kisah korban dan mantan pelaku terorisme, katanya, mahasiswa harus proaktif dalam mewaspadai gerakan-gerakan yang mempropagandakan kekerasan.
“Saya di sini mengingatkan, kita semua berpotensi menjadi korban atau pun pelaku terorisme. Tugas kita selaku mahasiswa adalah bagaimana kita mencegah adanya korban-korban atau pelaku-pelaku baru. Kita harus cegah jangan sampai ada kejadian terorisme selanjutnya,” ucapnya. [MLM]
Baca juga Gerakan Menyamakan Persepsi